Sunday, May 29, 2016

Cerita di Balik Berita Utama "Kompas" Presiden Soeharto Siap Mundur (4 of 4)

Cerita di Balik Berita Utama "Kompas" Presiden Soeharto Siap Mundur


KompasJudul utama Harian Kompas terbitan Kamis 14 Mei 1998.

Berita "Selamat Datang Pemerintahan Baru"
via commons.wikimedia.orgPresiden Soeharto saat mengumumkan mundur dari jabatannya di Istana Merdeka, pada 21 Mei 1998.
James melanjutkan, pada 20 Mei 1998 malam, redaksi Kompassudah mendapatkan informasi bahwa Soeharto akan menyatakan berhenti sebagai Presiden pada keesokan harinya. Namun, tidak ada seorang pun pejabat negara yang bersedia dikonfirmasi soal itu.
"Kalau kami tulis kita sendiri yang bilang Pak Harto akan mundur besok pagi, kalau enggak jadi mundur, kredibilitas Kompas rusak. Jadi kami perlu orang yang ngomong bahwa besok Pak Harto mundur atau judul apalah pokoknya isi dari judul Kompas itu memberitahu kepada masyarakat di pagi hari bahwa Pak Harto hari itu akan mundur," ujar James.
Sebuah judul pun dipilih mewakili kondisi pemerintahan Indonesia saat itu. "Selamat Datang Pemerintahan Baru."
Wakil Pemimpin Redaksi Kompas Budiman Tanuredjo mengakui, terjadi perdebatan dalam pemilihan judul itu. Terlalu berisiko jikaKompas menulis judul terang-terangan bahwa Soeharto mundur.
"Kenapa judul itu yang dipilih? Karena Kompas akan terbit pada jam 07.00 atau jam 08.00 pagi dan Soeharto akan mengumumkan pengunduran diri jam 10.00 WIB sehingga tidak mungkin kami memberikan judul bahwa Soeharto mundur. Itu akan sangat berisiko secara politik kalau Soeharto membatalkan niatnya untuk mundur," ujar Budiman.
August Parengkuan kala itu berpikir, pemerintahan boleh dibilang lumpuh. Dengan wewenang yang dimiliki, ia pun memutuskan untuk mencetak headline "Selamat Datang Pemerintahan Baru."
"Sudah lumpuhlah pemerintahan waktu itu sehingga siapa yang takut pada pemerintahan yang sudah lumpuh?" ujar August.
Akhirnya, pada 21 Mei 1998 pukul 09.05 WIB, di ruang Credentials Room di Istana Merdeka, Soeharto mengumumkan, ia berhenti sebagai Presiden RI. 

James mengatakan, "Ketika pagi-pagi akhirnya Pak Harto jadi mundur, kita jadi menang..."

Cerita di Balik Berita Utama "Kompas" Presiden Soeharto Siap Mundur (3 of 4)

Cerita di Balik Berita Utama "Kompas" Presiden Soeharto Siap Mundur 

Kepada publik, Soeharto juga mengklarifikasi pemberitaanKompas itu. Soeharto membantah dirinya mengatakan,'saya siap mundur'.
Untuk memuat berita klarifikasi itu, redaksi Kompas saat itu dihadapkan pada dua pilihan judul berita.
"Saya punya dua pilihan waktu bikin judul berita klarifikasi itu. Pertama 'Soeharto Bantah Katakan Siap Mundur' atau yang kedua, 'Soeharto: Tidak Benar Saya Katakan Saya akan Mundur'. Ada dua hal itu," ujar James.
Dua judul berita itu memiliki dua nuansa yang berbeda pula. Judul pertama, memberikan kesan bahwa Soeharto meralat pernyataan bahwa dirinya akan mundur.
Sementara, judul kedua memberi kesan bahwa berita Kompas soal Soeharto siap mundur adalah salah.
"Akhirnya saya pilih judul pertama. Jadi seakan-akan dia sudah ngomong, lalu dia bantah. Dalam posisi seperti ini, posisi kami menjadi lebih kuat kan," ujar James.
Setelah itu, Soeharto mengumumkan akan merombak kabinetnya. Ia juga tiba-tiba membuka peluang berkomunikasi dengan tokoh oposisi.
Redaktur politik Kompas lainnya, Myrna Ratna berpendapat, upaya itu terlambat. Situasi Ibu Kota sudah tidak dapat dikendalikan.
"Seharusnya mendengarkannya dari beberapa bulan sebelumnya, dialog dengan mahasiswa, tokoh oposisi. Karena situasi ini sudah bergulir sedemikian genting," ujar Myrna.
Pada 17 Mei 1998, mahasiswa menduduki Gedung MPR/DPR. Mereka menuntut Soeharto mundur dari kursi presiden. Aksi itu terus berlanjut sampai 19 Mei 1998.

Cerita di Balik Berita Utama "Kompas" Presiden Soeharto Siap Mundur (2 of 4)

Cerita di Balik Berita Utama "Kompas" Presiden Soeharto Siap Mundur


Mempersingkat kunjungan
James mengakui bahwa ada kekhawatiran Kompas ketika itu. Ia mengakui bahwa judul yang dipakai merupakan hasil interpretasi.
"Pak Harto memang enggak pernah bilang saya mau mundur. Pak Harto cuma ngomong kalau rakyat tidak lagi menghendaki saya, maka saya akan mendekatkan diri pada Tuhan, pada keluarga dan pada anak cucu. Kami andaikan itu artinya dia sudah enggak bertahan. Jadi dia mundur," ujar James.
Soeharto kemudian memperpendek kunjungannya di Mesir dan kembali ke Tanah Air pada Jumat, 15 Mei 1998 pagi. Pasalnya, situasi Indonesia semakin kacau.
Seharusnya, Soeharto melakukan pertemuan bilateral dengan Presiden Mubarak. Lokasi kemudian pertemuan diubah. Mubarak akhirnya menemui Soeharto di Hotel tempatnya menginap.
Oscar menceritakan, di lobi hotel sudah penuh sesak wartawan asing. Salah satu wartawan asing itu bertanya kepada Osdar di mana wartawan Kompas.
"Waduh, saya bilang ngga tahu, di sana kali. Padahal saya yang ditanya. Mereka ingin tahu kenapa bisa ada berita Soeharto akan mundur. Mereka ingin tahu gimana prosesnya ucapan itu," kata Osdar.
Soeharto bantah
Wiranto dalam bukunya "Bersaksi di Tengah Badai" bercerita, setelah kembali ke Tanah Air seusai kunjungan ke Mesir pada 15 Mei, Soeharto memanggil para menteri.
Momen itu dihadiri Menko Polhukam Feisal Tanjung, Mendagri R Hartono, Mensesneg Saadillah Mursjid, Menteri Kehakiman Muladi, Menteri Penerangan Alwi Dahlan, Kepala Bakin Moetojib, Jaksa Agung Soedtjono C Atmonegoro, dan Wiranto.
Selain meminta laporan situasi Tanah Air, Soeharto juga mengoreksi pemberitaan yang berisi dirinya siap mundur.
"Yang saya nyatakan adalah kalau masyarakat tidak lagi memberikan kepercayaan, sebetulnya tidak apa-apa. Kalau tidak percaya, ya sudah. Saya tidak akan mempertahankan dengan kekuatan senjata. Saya akan mandeg pandito, akan mendekatkan diri dengan Tuhan. Membimbing anak-anak supaya menjadi orang yang baik dan kepada masyarakat bisa memberi nasihat, bagi tut wuri handayani," kata Presiden.

Cerita di Balik Berita Utama "Kompas" Presiden Soeharto Siap Mundur (1 of 4)

Cerita di Balik Berita Utama "Kompas" Presiden Soeharto Siap Mundur



KompasJudul utama Harian Kompas terbitan Kamis 14 Mei 1998.
JAKARTA, KOMPAS.com - "Presiden Siap Mundur". Begitulah judul utama Harian Kompas terbitan Kamis, 14 Mei 1998. Pemberitaan tentang Presiden Soeharto itu membuat gempar di Tanah Air dan luar negeri.
Judul tersebut dimuat Kompas berdasarkan laporan wartawanKompas J Osdar, yang meliput kunjungan Soeharto ke Mesir.
Soeharto bertolak ke Kairo, Mesir pada 9 Mei 1998, ketika kondisi Tanah Air memanas. Saat itu, Soeharto menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G15 di Kairo. Di Indonesia, gerbong pemerintahan dijaga Wakil Presiden B.J Habibie.
Osdar menceritakan, di Mesir Soeharto bertemu dengan masyarakat Indonesia yang bekerja atau belajar di Kairo pada Rabu (13/5/1998). Di situlah pernyataan penting Soeharto diucapkan.
"Waktu itu saya setengah-setengah tertidur ya. Beliau bilang, kalau memang rakyat tidak menghendaki, saya pun tidak bertahan dengan senjata. Saya akan hidup mendekati Tuhan. Kira-kira begitu. Ah, saya agak kaget," kenang Osdar dalam acara Cerita Kompas yang ditayangkan Kompas TV.
KOMPAS.com/SABRINA ASRILWartawan "Kompas" J Osdar berbicara dalam peluncuran buku "Sisi Lain Istana 2" di Bentara Budaya Jakarta, Selasa (9/12/2014).
James Luhulima, redaktur politik Kompas ketika itu menerima telepon dari Osdar. Disampaikan Osdar, Soeharto menyampaikan mau mundur.
"Saya bilang, wah, itu berita besar. Kirim deh. Waktu itu saya bilang kirim tiga alinea saja karena sudah malam. Jadi kalau dia bikin tiga alinea tidak terlalu lama waktunya, tapi esensinya ada. Tapi dia bilang di sini repot. Akhirnya saya suruh dia dikte, saya catat," kata James.
August Parengkuan, Wakil Pemimpin Redaksi Kompas ketika itu mengaku percaya dengan laporan wartawannya. Ketika Osdar melaporkan hal tersebut, August memutuskan untuk dimuat di halaman utama.
"Saya pengambil keputusan pada malam itu," kata August.
Ansel da Lopez, wartawan non aktif Kompas yang menjabat anggota DPR ketika itu menceritakan, para anggota Komisi I DPR sempat bertanya kepadanya perihal headline Kompas tersebut.
Ansel kemudian menghubungi Osdar. Kepada Ansel, Osdar membenarkan Soeharto mengucapkan seperti dalam berita.
"Saya lalu menyampaikan kepada teman-teman yang menanyakan, betul menurut teman saya yang membuat berita itu, betul Pak Harto menyatakan bersedia mundur," kata Ansel.
Mempersingkat kunjungan
James mengakui bahwa ada kekhawatiran Kompas ketika itu. Ia mengakui bahwa judul yang dipakai merupakan hasil interpretasi.
"Pak Harto memang enggak pernah bilang saya mau mundur. Pak Harto cuma ngomong kalau rakyat tidak lagi menghendaki saya, maka saya akan mendekatkan diri pada Tuhan, pada keluarga dan pada anak cucu. Kami andaikan itu artinya dia sudah enggak bertahan. Jadi dia mundur," ujar James.
Soeharto kemudian memperpendek kunjungannya di Mesir dan kembali ke Tanah Air pada Jumat, 15 Mei 1998 pagi. Pasalnya, situasi Indonesia semakin kacau.
Seharusnya, Soeharto melakukan pertemuan bilateral dengan Presiden Mubarak. Lokasi kemudian pertemuan diubah. Mubarak akhirnya menemui Soeharto di Hotel tempatnya menginap.
Oscar menceritakan, di lobi hotel sudah penuh sesak wartawan asing. Salah satu wartawan asing itu bertanya kepada Osdar di mana wartawan Kompas.
"Waduh, saya bilang ngga tahu, di sana kali. Padahal saya yang ditanya. Mereka ingin tahu kenapa bisa ada berita Soeharto akan mundur. Mereka ingin tahu gimana prosesnya ucapan itu," kata Osdar.
Soeharto bantah
Wiranto dalam bukunya "Bersaksi di Tengah Badai" bercerita, setelah kembali ke Tanah Air seusai kunjungan ke Mesir pada 15 Mei, Soeharto memanggil para menteri.
Momen itu dihadiri Menko Polhukam Feisal Tanjung, Mendagri R Hartono, Mensesneg Saadillah Mursjid, Menteri Kehakiman Muladi, Menteri Penerangan Alwi Dahlan, Kepala Bakin Moetojib, Jaksa Agung Soedtjono C Atmonegoro, dan Wiranto.
Selain meminta laporan situasi Tanah Air, Soeharto juga mengoreksi pemberitaan yang berisi dirinya siap mundur.
"Yang saya nyatakan adalah kalau masyarakat tidak lagi memberikan kepercayaan, sebetulnya tidak apa-apa. Kalau tidak percaya, ya sudah. Saya tidak akan mempertahankan dengan kekuatan senjata. Saya akan mandeg pandito, akan mendekatkan diri dengan Tuhan. Membimbing anak-anak supaya menjadi orang yang baik dan kepada masyarakat bisa memberi nasihat, bagi tut wuri handayani," kata Presiden.
Kepada publik, Soeharto juga mengklarifikasi pemberitaanKompas itu. Soeharto membantah dirinya mengatakan,'saya siap mundur'.
Untuk memuat berita klarifikasi itu, redaksi Kompas saat itu dihadapkan pada dua pilihan judul berita.
"Saya punya dua pilihan waktu bikin judul berita klarifikasi itu. Pertama 'Soeharto Bantah Katakan Siap Mundur' atau yang kedua, 'Soeharto: Tidak Benar Saya Katakan Saya akan Mundur'. Ada dua hal itu," ujar James.
Dua judul berita itu memiliki dua nuansa yang berbeda pula. Judul pertama, memberikan kesan bahwa Soeharto meralat pernyataan bahwa dirinya akan mundur.
Sementara, judul kedua memberi kesan bahwa berita Kompas soal Soeharto siap mundur adalah salah.
"Akhirnya saya pilih judul pertama. Jadi seakan-akan dia sudah ngomong, lalu dia bantah. Dalam posisi seperti ini, posisi kami menjadi lebih kuat kan," ujar James.
Setelah itu, Soeharto mengumumkan akan merombak kabinetnya. Ia juga tiba-tiba membuka peluang berkomunikasi dengan tokoh oposisi.
Redaktur politik Kompas lainnya, Myrna Ratna berpendapat, upaya itu terlambat. Situasi Ibu Kota sudah tidak dapat dikendalikan.
"Seharusnya mendengarkannya dari beberapa bulan sebelumnya, dialog dengan mahasiswa, tokoh oposisi. Karena situasi ini sudah bergulir sedemikian genting," ujar Myrna.
Pada 17 Mei 1998, mahasiswa menduduki Gedung MPR/DPR. Mereka menuntut Soeharto mundur dari kursi presiden. Aksi itu terus berlanjut sampai 19 Mei 1998.
Berita "Selamat Datang Pemerintahan Baru"
via commons.wikimedia.orgPresiden Soeharto saat mengumumkan mundur dari jabatannya di Istana Merdeka, pada 21 Mei 1998.
James melanjutkan, pada 20 Mei 1998 malam, redaksi Kompassudah mendapatkan informasi bahwa Soeharto akan menyatakan berhenti sebagai Presiden pada keesokan harinya. Namun, tidak ada seorang pun pejabat negara yang bersedia dikonfirmasi soal itu.
"Kalau kami tulis kita sendiri yang bilang Pak Harto akan mundur besok pagi, kalau enggak jadi mundur, kredibilitas Kompas rusak. Jadi kami perlu orang yang ngomong bahwa besok Pak Harto mundur atau judul apalah pokoknya isi dari judul Kompas itu memberitahu kepada masyarakat di pagi hari bahwa Pak Harto hari itu akan mundur," ujar James.
Sebuah judul pun dipilih mewakili kondisi pemerintahan Indonesia saat itu. "Selamat Datang Pemerintahan Baru."
Wakil Pemimpin Redaksi Kompas Budiman Tanuredjo mengakui, terjadi perdebatan dalam pemilihan judul itu. Terlalu berisiko jikaKompas menulis judul terang-terangan bahwa Soeharto mundur.
"Kenapa judul itu yang dipilih? Karena Kompas akan terbit pada jam 07.00 atau jam 08.00 pagi dan Soeharto akan mengumumkan pengunduran diri jam 10.00 WIB sehingga tidak mungkin kami memberikan judul bahwa Soeharto mundur. Itu akan sangat berisiko secara politik kalau Soeharto membatalkan niatnya untuk mundur," ujar Budiman.
August Parengkuan kala itu berpikir, pemerintahan boleh dibilang lumpuh. Dengan wewenang yang dimiliki, ia pun memutuskan untuk mencetak headline "Selamat Datang Pemerintahan Baru."
"Sudah lumpuhlah pemerintahan waktu itu sehingga siapa yang takut pada pemerintahan yang sudah lumpuh?" ujar August.
Akhirnya, pada 21 Mei 1998 pukul 09.05 WIB, di ruang Credentials Room di Istana Merdeka, Soeharto mengumumkan, ia berhenti sebagai Presiden RI. 

James mengatakan, "Ketika pagi-pagi akhirnya Pak Harto jadi mundur, kita jadi menang..."

Ribuan Mahasiswa Duduki DPR, Belasan Menteri Ekuin Mundur, Rezim Soeharto Tumbang, BJ Habibie Presiden

Ribuan Mahasiswa Duduki DPR, Belasan Menteri Ekuin Mundur, Rezim Soeharto Tumbang, BJ Habibie Presiden

Ribuan mahasiswa se-Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi mendatangi Gedung MPR/DPR, Mei 1998, menuntut reformasi dan  Presiden Soeharto mundur. Sebagian mahasiswa melakukan aksi duduk di atap Gedung MPR/DPR.
KOMPAS/EDDY HASBYRibuan mahasiswa se-Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi mendatangi Gedung MPR/DPR, Mei 1998, menuntut reformasi dan Presiden Soeharto mundur. Sebagian mahasiswa melakukan aksi duduk di atap Gedung MPR/DPR.
Puluhan ribu mahasiswa menduduki Gedung DPR. Soeharto kapok jadi Presiden. Sebelas menteri bidang ekuin mundur, rezim Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun akhirnya tumbang dan BJ Habibie menjadi Presiden ke-3 Republik Indonesia. Berita-berita yang dimuat di harian Kompas pada 20, 21, dan 22 Mei 1998 itu menjadi bagian dari sejarah republik ini.
Foto di halaman pertama harian Kompas 20 Mei 1998 memperlihatkan suasana Gedung DPR diduduki puluhan ribu mahasiswa dari wilayah Jabodetabek. Mereka tidak hanya memadati halaman DPR, tetapi juga menaiki kubah gedung, memenuhi taman-taman, lorong-lorong, ataupun ruangan lobi. Inilah demonstrasi terbesar yang pernah dilakukan mahasiswa selama rezim Orde Baru berkuasa.
Dalam berita berjudul "Puluhan Ribu Mahasiswa Duduki DPR" disebutkan, ribuan mahasiswa memasuki DPR sejak pagi hari secara bergelombang. Mereka datang dengan bus-bus sewaan ataupun bus resmi universitas masing-masing. Karena penjagaan longgar, sebagian dari mereka langsung mendaki puncak kubah Gedung DPR dan memasang spanduk panjang yang meminta agar Presiden Soeharto segera mundur dari jabatannya.
Di samping mahasiswa, sejumlah pakar hukum tata negara dan anggota Komnas HAM Prof Dr Sri Soemantri, tokoh "Malari" dr Hariman Siregar, Sukmawati Soekarnoputri, Guruh Soekarnoputra, tokoh HAM HJ Princen, Ketua Komite Nasional Indonesia Untuk Reformasi Ny Supeni, Ali Sadikin, Karlina Leksono, mantan Ketua DPR/MPR Kharis Suhud yang dipapah mantan Sesdalopbang Solihin GP juga hadir. Mereka sempat melakukan dialog dan diskusi dengan mahasiswa yang berunjuk rasa.
Pada hari yang sama, berita utama harian Kompas Rabu, 20 Mei 1998, berjudul "Pak Harto: Saya Kapok Jadi Presiden", seolah menjawab tuntutan mahasiswa. Presiden Soeharto menegaskan bahwa dirinya tidak masalah jika harus mundur. "Mundur dan tidaknya, itu tidak masalah. Yang perlu diperhatikan adalah apakah dengan kemunduran saya, keadaan ini akan segera bisa diatasi," kata Soeharto dalam jumpa pers di Istana Merdeka, Selasa (19/5/1998), seusai bertemu dengan para ulama, tokoh masyarakat, berbagai organisasi kemasyarakatan dan ABRI.
Soeharto juga mengumumkan akan melaksanakan pemilihan umum secepat-cepatnya berdasarkan Undang-undang Pemilu yang baru. Dan dia tidak bersedia lagi dicalonkan sebagai Presiden. Soeharto segera membentuk Komite Reformasi yang bertugas untuk menyelesaikan UU Pemilu; UU Kepartaian; UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD; UU Antimonopoli; dan UU Antikorupsi, sesuai dengan keinginan masyarakat. Anggota komite ini terdiri dari unsur masyarakat, perguruan tinggi, dan para pakar.
content
"Setelah mendengar saran-saran dan pendapat dari para ulama, tokoh masyarakat, berbagai organisasi kemasyarakatan, dan pendapat ABRI, maka untuk menyelamatkan negara dan bangsa, pembangunan nasional, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta kesatuan dan persatuan bangsa, saya mengambil keputusan, sesuai dengan wewenang yang diberikan oleh MPR, saya sebagai Presiden Mandataris MPR, saya akan melaksanakan dan memimpin reformasi nasional secepat mungkin," ungkap Presiden.
Pemberi saran dan pendapat dalam pertemuan itu, Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Abdurrahman Wahid-yang hadir dengan kursi roda-budayawan Emha Ainun Nadjib, Direktur Yayasan Paramadina Nurcholish Madjid, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ali Yafie, Prof Malik Fajar (Muhammadiyah), Guru Besar Tata Negara dari Universitas Indonesia Prof Yusril Ihza Mahendra, KH Cholil Baidowi (Muslimin Indonesia), Sumarsono (Muhammadiyah), serta Ahmad Bagdja dan Ma'aruf Amin dari NU.
Belasan menteri ekuin mundur
Dalam berita harian Kompas Kamis, 21 Mei 1998, disebutkan 11 menteri di lingkungan ekonomi, keuangan, dan industri (ekuin) Kabinet Pembangunan VII hari Rabu (20/5/1998) malam menyampaikan surat pengunduran diri kepada Presiden Soeharto. Hanya dua menteri ekuin yang tak mengundurkan diri, yakni Menperindag Mohamad Hasan dan Menteri Keuangan Fuad Bawazier. Surat pengunduran diri disampaikan secara bersama-sama setelah para menteri itu berkumpul di Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di Jalan Taman Suropati.
Ketua Bappenas Ginandjar Kartasasmita, koordinator para menteri di lingkungan ekuin, memimpin para menteri untuk mundur dari jabatannya. Mundurnya para menteri di lingkungan ekuin merupakan gelombang kedua yang diterima Presiden Soeharto. Sebelumnya surat pengunduran diri sudah disampaikan Menteri Pariwisata, Seni, dan Budaya (Menparsenibud) Abdul Latief.
Sebanyak 16 menteri di lingkungan ekuin adalah Menko Ekuin/Kepala Bappenas Ginandjar Kartasasmita, Menteri Keuangan Fuad Bawazier, Menperindag Mohamad Hasan, Menteri Pertanian Ny Justika Sjarifudin Baharsjah, Mentamben Kuntoro Mangkusubroto, Menteri Kehutanan dan Perkebunan Sumahadi, Menteri Pekerjaan Umum Rachmadi Bambang Sumadhijo, Menteri Perhubungan Giri Suseno Hadihardjono, Menteri Koperasi dan Pengusaha Kecil Subiakto Tjakrawerdaya, Menteri Tenaga Kerja Theo L Sambuaga, Menteri Negara Investasi/Ketua BKPM Sanyoto Sastrowardoyo, Menteri Perumahan Rakyat dan Pemukiman Akbar Tandjung, Menteri Negara Pendayagunaan BUMN Tanri Abeng, Menteri Transmigrasi dan Perambah Hutan AM Hendropriyono, Menteri Negara Pangan, Hortikultura dan Obat-obatan Haryanto Dhanutirto, serta Menparsenibud Abdul Latief yang telah mengundurkan diri.
Suasana Jakarta yang lengang pasca kerusuhan 20 Mei 1998.
KOMPAS/JOHNNY TG
Seorang mahasiswa jatuh tergeletak terkena pukulan pasukan anti huru-hara yang berusaha membubarkan aksi unjuk rasa menuntut Presiden Soeharto mundur di depan Kampus Trisakti, Grogol, Jakarta, 12 Mei 1998. Pada aksi tersebut, empat mahasiswa Trisakti tewas terkena tembakan. Namun, hingga saat ini kasus tertembaknya mahasiswa Trisakti itu masih belum terungkap meski Komisi Nasional Hak Asasi Manusia telah merekomendasikan untuk dilakukan pengusutan.
KOMPAS/JULIAN SIHOMBING
Menkeu Fuad Bawazier dan Menperindag Mohamad (Bob) Hasan di antara jajaran menteri ekuin yang tidak bersedia mengundurkan diri.
Berita utama harian Kompas Kamis, 21 Mei 1998, berjudul "Selamat Datang Pemerintahan Baru" menegaskan bahwa rezim Soeharto sudah tumbang. Berita itu mengutip pernyataan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Amien Rais dan cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid Kamis dini hari, "Selamat tinggal pemerintahan lama dan selamat datang pemerintahan baru". Keduanya menyambut pemerintahan transisi yang akan menyelenggarakan pemilihan umum hingga Sidang Umum MPR untuk memilih pemimpin nasional yang baru dalam jangka waktu enam bulan. Dari semua alternatif yang ada untuk menyelesaikan persoalan bangsa, kata Cak Nur, langkah yang terbaik adalah Presiden Soeharto mundur.
Soeharto berhenti, BJ Habibie presiden
Berita utama harian Kompas, Jumat, 22 Mei 1998, berjudul "BJ Habibie Minta Dukungan Rakyat". Habibie menjadi Presiden RI setelah Kamis, 21 Mei 1998, pagi harinya Soeharto menyatakan berhenti dari jabatan itu di Istana Merdeka. Habibie mengucapkan sumpah untuk jadi presiden yang baru dari negeri berpenduduk keempat terbanyak di dunia ini.
Acara peletakan jabatan Presiden berlangsung pukul 09.00 WIB di Istana Merdeka. Pukul 08.25, Wakil Presiden Habibie tiba di halaman samping Istana Merdeka. Lima menit kemudian, pukul 08.30, Presiden Soeharto tiba didampingi putri sulungnya, Siti Hardijanti Rukmana (Tutut). Lalu 10 menit kemudian, Ketua MPR/DPR Harmoko beserta empat Wakil Ketua, yakni Syarwan Hamid, Abdul Gafur, Fatimah Achmad, dan Ismail Hasan Metareum, tiba. Menyertai para pimpinan MPR/DPR adalah Sekjen DPR Afif Ma'roef.
Di muka mikrofon, Soeharto menyatakan, "Sejak beberapa waktu terakhir, saya mengikuti dengan cermat perkembangan situasi nasional kita, terutama aspirasi rakyat untuk mengadakan reformasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Atas dasar pemahaman saya yang mendalam terhadap aspirasi tersebut, dan terdorong oleh keyakinan bahwa reformasi perlu dilaksanakan secara tertib, damai, dan konstitusional."
"Demi terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa serta kelangsungan pembangunan nasional, saya telah menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan VII. Namun demikian, kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak dapat terwujud karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana pembentukan komite tersebut. Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara-cara sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi, maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi," kata Soeharto.
"Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Karena itu, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan secara sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan DPR dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis, 21 Mei 1998," ujar Soeharto.
Pengalihan kekuasaan yang bersejarah itu berlangsung 10 menit di credentials room Istana Merdeka, Jakarta, yang didahului gelombang aksi reformasi dari ribuan mahasiswa, yang didukung para cendekiawan, tokoh masyarakat, purnawirawan, dan ibu-ibu rumah tangga di sejumlah kota di negeri ini.
Kamis malam, dalam pidato pertamanya di Istana Merdeka, Presiden BJ Habibie mengharapkan dukungan sepenuhnya dari seluruh lapisan masyarakat dalam menjalankan tugas sebagai Presiden ke-3 Republik Indonesia. "Saya mengharapkan dukungan dari seluruh rakyat Indonesia untuk bersama-sama dapat keluar dari krisis yang sedang kita hadapi, yang hampir melumpuhkan berbagai sendi-sendi kehidupan bangsa," katanya.
Menurut Habibie, perjuangan mahasiswa dalam mempercepat proses reformasi merupakan angin segar yang mengembus memasuki abad ke-21. "Saya memperhatikan dengan sungguh-sungguh dinamika aspirasi yang berkembang dalam pelaksanaan reformasi secara menyeluruh, baik yang disampaikan oleh mahasiswa dan kaum cendekiawan, maupun yang berkembang dalam masyarakat serta di kalangan Dewan Perwakilan Rakyat."
Setelah 32 tahun berkuasa, rezim Orde Baru akhirnya tumbang. Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden dan sesuai Pasal 8 UUD 1945, "Jika Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya". BJ Habibie menjadi Presiden ke-3 Republik Indonesia, mengawali proses reformasi di negeri ini.
(ROBERT ADHI KSP, DIOLAH DARI BERITA-BERITA HARIAN KOMPAS, 20-22 MEI 1998)
Suasana Jakarta  20 Mei 1998.
KOMPAS/JOHNNY TG
Pemakaman korban kerusuhan massal di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Pondok Rangon, Jakarta Timur, 18  Mei 1998.
MOSISTA PAMBUDI
Berita utama harian Kompas, 22 Mei 1998, berjudul
ARSIP KOMPAS
Berita utama harian Kompas, 21 Mei 1998, berjudul
ARSIP KOMPAS
Kerusuhan Mei 1998.
KOMPAS/ARBAIN RAMBEY
Kerusuhan di kawasan Pasar Baru, Jakarta, 14 Mei 1998. Di tempat lain terjadi kerusuhan serupa.
KOMPAS/ARBAIN RAMBEY

Berita utama harian Kompas, 20 Mei 1998, berjudul
ARSIP KOMPASBerita utama harian Kompas, 20 Mei 1998, berjudul "Pak Harto: Saya Kapok Jadi Presiden" dan berita di sampingnya, "Puluhan Ribu Mahasiswa Duduki DPR".
sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/05/21/Ribuan-Mahasiswa-Duduki-DPR%2c-Belasan-Menteri-Ekuin?utm_source=bacajuga

Jakarta Membara dan Soeharto Siap Mundur

Jakarta Membara dan Soeharto Siap Mundur

Mei 1998. Jakarta dilanda kerusuhan massa, masyarakat berkabung (atas kematian empat mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta, akibat luka tembak), rupiah melunglai, Indeks Harga Saham Gabungan anjlok, dan Presiden Soeharto siap mundur. Empat berita yang dimuat di harian Kompas, Kamis, 14 Mei 1998 ini, memiliki korelasi yang erat. Penembakan empat mahasiswa Trisakti, 12 Mei, memicu aksi kerusuhan massa yang lebih luas, yang akhirnya menyebabkan rupiah melunglai dan IHSG anjlok. Kondisi dalam negeri yang memburuk itu memaksa Presiden Soeharto mempersingkat kunjungannya di Mesir dan menyampaikan pernyataan bahwa dirinya siap mundur setelah berkuasa selama 32 tahun.
"Kalau memang rakyat tidak lagi menghendaki saya sebagai Presiden, saya siap mundur. Saya tidak akan mempertahankan kedudukan dengan kekuatan senjata. Saya akan mengundurkan diri dan mendekatkan diri kepada Tuhan yang Maha Esa dan dengan keluarga, anak-anak dan cucu-cucu. Tetapi, semua itu harus dilakukan secara konstitusional. Kalau ada yang ingin melakukannya secara inkonstitusional, itu berarti mengkhianati Pancasila dan UUD 1945," kata Presiden Soeharto dalam acara temu muka dengan masyarakat Indonesia di Mesir, sehari sebelumnya. Hal itu terungkap dalam berita berjudul "Kalau Rakyat Tak Lagi Menghendakinya, Presiden Siap Mundur" yang ditulis wartawanKompas, J Osdar dan Musthafa Abd Rahman, dari Kairo, Mesir.
Soeharto membantah informasi yang menyebutkan dia dan keluarganya menguasai hasil kekayaan Indonesia, juga informasi yang menyebut dia orang terkaya keempat di dunia setelah Ratu Inggris Elizabeth II, Raja Arab Saudi Fahd, dan Sultan Brunei Hassanal Bolkiah. Soeharto menyebut informasi-informasi itu fitnah.
Presiden Soeharto waktu itu berada di Mesir menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi G-15 dan mempersingkat kunjungannya. Dia batal melakukan kunjungan kepada Presiden Mesir Hosni Mubarak di Istana Koubbeh. Namun, Mubarak mengunjungi Soeharto di Hotel Sheraton Heliopolis.
Pernyataan Soeharto ditanggapi Ketua MPR/DPR Harmoko, seperti dimuatKompas, 15 Mei 1998, "Pimpinan MPR Adakan Rapim Segera". DPR, kata Harmoko, segera membahas pernyataan Presiden Soeharto yang disampaikan di Mesir. DPR akan membahasnya dalam Rapat Pimpinan MPR. Pada hari yang sama, pimpinan DPR menerima para praktisi hukum yang dipimpin Adnan Buyung Nasution yang meminta MPR segera menggelar sidang istimewa. "Kalau dalam keadaan normal, kita memang harus memakai mekanisme sesuai Tata Tertib MPR. Tapi, kalau sudah begini, siapa yang bisa menjamin pembakaran-pembakaran akan berhenti. Karena itu harus secepatnya," ucap Adnan Buyung Nasution.
Dalam berita di hari yang sama berjudul "Para Tokoh Bentuk Majelis Amanat Rakyat, Siap Pimpin Bangsa secara Kolektif" disebutkan, sedikitnya 50 tokoh nasional di Jakarta, Kamis, 14 Mei 1998, membentuk kelompok pro demokrasi bernama Majelis Amanat Rakyat (MAR). Itu merupakan wadah kerja sama berbagai organisasi dan perorangan yang memiliki komitmen terhadap reformasi untuk demokrasi. MAR dibentuk setelah mereka melihat perkembangan di Indonesia yang makin memprihatinkan menyusul kemarahan massa terhadap pemerintah.
Ada tiga tuntutan MAR. Pertama, menyerukan kepada Presiden Soeharto untuk mengundurkan diri dengan kebesaran jiwa dan kehormatan demi kepentingan bangsa agar seluruh proses reformasi untuk demokrasi dapat berjalan dengan lancar dan damai. Kedua, menyerukan kepada aparat keamanan untuk menghindarkan diri dari segala bentuk penggunaan kekerasan kepada rakyat sehingga keadaan yang lebih buruk dapat dicegah. Ketiga, mengimbau mahasiswa, generasi muda, dan rakyat pada umumnya untuk sungguh-sungguh dan secepatnya menciptakan perubahan situasi yang memungkinkan pemulihan segera kehidupan masyarakat secara wajar.
Namun, dalam berita Kompas, 16 Mei 1998, Presiden Soeharto menegaskan tidak pernah menyatakan siap mundur. Presiden menyatakan, tidak apa-apa jika masyarakat sudah tidak lagi memberi kepercayaan karena dirinya akanmadeg (menjadi) pandito, yakni mendekatkan diri kepada Tuhan, membimbing anak-anak supaya menjadi baik, serta bisa memberi nasihat kepada masyarakat dan tut wuri handayani (membimbing dari belakang). Karena itu, Presiden tak akan mempertahankan kepercayaan rakyat itu dengan kekuatan senjata.
Kompas, 17 Mei 1998, memuat berita "Pimpinan Agama Minta Pak Harto Memilih Langkah Terbaik". Pimpinan agama mengeluarkan keprihatinan moral serta menilai negara dalam keadaan sangat kritis. Untuk itu, demi menyelamatkan bangsa dan negara Indonesia dari kekacauan dan perpecahan, pimpinan agama meminta Presiden Soeharto mempertimbangkan langkah terbaik bagi bangsa.
Pada hari yang sama, dalam dialog dengan Universitas Indonesia, Soeharto mengatakan, "Jika dikehendaki, setiap saat Presiden siap untuk lengser keprabon (turun takhta) sejauh dilakukan secara konstitusional dan dengan cara damai. Dan, aspirasi masyarakat tentang suksesi itu kini telah bergulir di DPR. Karena itu, masalahnya tinggal bagaimana cara memberdayakan DPR semaksimal mungkin."
Menanggapi perkembangan penembakan mahasiswa Trisakti, Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima ABRI (Menhankam/Pangab) Jenderal Wiranto, seperti dikutip dalam berita Kompas, Sabtu, 16 Mei 1998, mengatakan, penelitian sementara tim yang dipimpin Kolonel CPM Hendardji (Komandan Polisi Militer Kodam Jaya) terhadap kasus penembakan mahasiswa Universitas Trisakti telah menemukan berbagai fakta. Salah satu fakta awal yang ditemukan adalah penembakan itu dilakukan dengan peluru tajam.
Jakarta membara
Kondisi Jakarta merah membara ketika Soeharto berada di Kairo. Dalam berita berjudul "Jakarta Dilanda Kerusuhan Massa" disebutkan, kerusuhan yang diwarnai aksi perusakan dan pembakaran bangunan dan kendaraan bermotor, Rabu, 13 Mei 1998, berawal dari kawasan di sekitar Kampus Universitas Trisakti, yaitu di Jalan Daan Mogot, Jalan Kyai Tapa, dan Jalan S Parman. Sehari sebelumnya, empat mahasiswa Trisakti tewas ditembak aparat. Aksi perusakan dan pembakaran meluas menjelang sore hari ke kawasan Bendungan Hilir, Kedoya, Jembatan Besi, Bandengan Selatan, Tubagus Angke, Semanan, dan Kosambi.
Massa mulai menyemut di kawasan sekitar Kampus Trisakti pada pukul 11.30. Saat itu, ribuan mahasiswa Trisakti sedang menggelar aksi berkabung atas gugurnya empat rekan mereka. Mahasiswa dilarang keluar kampus atau mendekati pagar kampus untuk menghindari insiden yang tak diinginkan.
Setengah jam kemudian, pada pukul 12.00, sebuah truk sampah di perempatan jalan layang dibakar massa. Aparat yang memblokir jalan di depan gedung Mal Ciputra dilempari massa dengan batu, botol, dan benda lain. Rambu-rambu lalu lintas dan pagar pembatas jalan dirusak dan dicabuti. Menghadapi massa yang mulai beringas, aparat melepas rentetan tembakan peringatan dan gas air mata. Massa tunggang langgang.
Di Jalan Daan Mogot, massa membakar dan merusak gedung dan mobil. Di halaman parkir mobil di belakang gedung Mal Ciputra yang biasa digunakan sebagai tempat parkir mahasiswa Universitas Trisakti dan Universitas Tarumanagara, sedikitnya 15 mobil hangus, 1 mobil terbakar, dan 9 mobil lain hancur. Sebelumnya, isi mobil dijarah massa. Buku-buku kuliah, diktat, dan tanda identitas mahasiswa berserakan di antara bangkai mobil.
Suasana chaos ini mencekam. Pukul 15.30, tiga helikopter terbang rendah dan berputar-putar meminta massa di kawasan Daan Mogot tidak berkerumun dan pulang ke rumah. Massa sempat menyerang pos polisi Grogol dengan lemparan batu.
Berita utama Harian Kompas 16 Mei 1998 berjudul
DOK KOMPAS
Berita utama Harian Kompas Minggu 17 Mei 1998 berjudul
DOK KOMPAS
Selepas pukul 18.00, keberingasan massa mulai muncul di sejumlah kawasan, terutama di Jakarta Barat. Di Jalan Bandengan Selatan, Tubagus Angke, dan Jembatan Dua, massa mulai menjarah rumah-rumah warga. Beberapa toko bahkan dibakar. Di Bojong, sebuah pasar swalayan mini dibakar massa. Di Jalan Lingkar Luar Barat, massa menghadang dan menjarah setiap kendaraan yang melintas. Massa juga menghancurkan Mal Puri Indah dan Green Garden. Pembakaran gedung dan mobil serta penjarahan toko masih berlangsung hingga larut malam, terutama di sekitar kawasan Angke, Jakarta Utara
Kerusuhan massa juga terjadi di kawasan bisnis Jalan Jenderal Sudirman, tepatnya di depan gedung Wisma GKBI, gedung BRI I dan II, serta pasar dan pusat pertokoan Bendungan Hilir (Benhil). Kerusuhan mengakibatkan sedikitnya dua ruko di pertokoan Benhil rusak dan dua mobil terbakar. Kerusuhan bermula ketika ratusan mahasiswa Unika Atma Jaya menggelar aksi keprihatinan dan dukacita bagi para mahasiswa yang menjadi korban dalam insiden di Universitas Trisakti, sekitar pukul 13.00
Penjarahan
Aksi kerusuhan di Jakarta dan sekitarnya diwarnai pula dengan penjarahan. Berita utama harian Kompas, 15 Mei 1998, berjudul "Perusuh Menjarah" menyebutkan, gelombang kerusuhan di Jakarta, Kamis (14/5/1998), memasuki hari kedua. Kerusuhan itu diwarnai dengan perusakan, pembakaran, penjarahan, dan perampokan di sentra-sentra perdagangan di seluruh wilayah Jakarta. Langit Jakarta diselimuti kabut hitam akibat pembakaran ratusan gedung, pasar, toko, mobil, dan sepeda motor. Situasi berangsur terkendali menjelang tengah malam.
Kerusuhan di kompleks perumahan Kelapa Gading mulai pecah sekitar pukul 23.00. Massa kemudian menyerbu masuk ke rumah-rumah mewah di Jakarta Utara itu. Di ruas Tol Cawang, massa membakar sebuah mobil yang tengah melintas.
Amuk massa terjadi di depan Kampus Universitas Indonesia, Salemba, sekitar pukul 12.00. Mereka mencabuti pagar pembatas jalan, sementara satuan Pasukan Antihuru-hara (PHH) yang berjaga di depan kampus hanya mengawasi. Mereka kemudian bergerak ke arah RS St Carolus, tempat satuan PHH membarikade jalan. Pasukan PHH yang dilempari batu mundur teratur ke arah Jalan Matraman Raya.
Sekitar pukul 13.25, sepasukan Marinir TNI AL datang menenangkan massa. Bersama-sama mereka mulai membersihkan jalan. Kemudian massa ditahan oleh Marinir di perempatan Jalan Salemba Raya-Matraman Raya. Sisi Jalan Matraman Raya dibarikade satuan PHH Batalyon Infanteri 202 dan Jalan Matraman Proklamasi oleh satuan Brimob Polda Metro Jaya.
Pusat-pusat pertokoan di kawasan Pasar Baru habis dirusak dan dibakar massa. Harco yang terletak di Jalan Samanhudi ludes dilalap api, Bioskop Krekot dirusak, sementara berbagai gedung bank dan pertokoan lain rusak parah. Massa terus bergerombol dan membakar apa saja, termasuk kendaraan bermotor di Jalan Gunung Sahari, kawasan Sawah Besar, Jalan Letjen Suprapto, kawasan Cempaka Putih, Pasar Senen, Jalan A Yani, kawasan Mangga Dua, dan Jalan Palmerah. Di kawasan Pasar Baru, Senen, dan Cempaka Putih, massa bergerombol di jalan-jalan dan menjarah barang-barang dari pertokoan.
Menhankam/Pangab mengimbau semua kelompok masyarakat yang memanfaatkan situasi untuk menjarah, merampok, membakar, atau merusak Ibu Kota menghentikan kegiatan tersebut. ABRI tidak pernah ragu untuk menindak tegas pelanggar hukum seperti itu.
Berita utama Kompas, 16 Mei 1998, berjudul "Ratusan Penjarah Tewas Terpanggang" menyebutkan, ratusan penjarah tewas terpanggang dalam peristiwa kerusuhan yang melanda wilayah DKI Jakarta sepanjang Kamis, 14 Mei. Menurut Kadispen Polri Brigjen (Pol) Da'i Bachtiar, jumlah korban tewas di wilayah DKI sekitar 200 orang. Jumlah itu belum termasuk 20 korban tewas akibat terjatuh saat berusaha meloloskan diri dari kepungan asap dan api. Di Kota Tangerang, jumlah penjarah yang tewas terpanggang sekitar 100 orang. Sebagian besar jasad korban dalam keadaan hangus.
Kompas, 17 Mei 1998, menurunkan berita "Situasi Jakarta Sudah Normal". Situasi Ibu Kota sejak Sabtu, 16 Mei, dapat dikendalikan dan aman. Namun, Wiranto meminta seluruh masyarakat terus meningkatkan kewaspadaan dan mengefektifkan pengamanan lingkungan bersama aparat. Meski situasi sudah aman dan sepenuhnya dapat dikuasai, seluruh masyarakat diminta untuk segera menginformasikan kepada aparat keamanan terdekat jika mendengar, mengetahui, dan merasakan ada gerakan orang atau kelompok yang mencurigakan di sekitarnya. Dalam kesempatan itu, diumumkan korban yang tewas terpanggang sebanyak 498 orang.
Menhankam/Pangab mengimbau warga negara asing yang tinggal di Jakarta untuk tetap tenang. ABRI akan menjamin keamanannya.
Harian Kompas, 18 Mei 1998, menurunkan berita "Kerusuhan di Jakarta: Kerugian Fisik Rp 2,5 Triliun". Disebutkan, kerusuhan yang terjadi di Jakarta, 13-14 Mei 1998 , itu menelan kerugian fisik sekitar Rp 2,5 triliun. Peristiwa itu telah merugikan dan menjadi beban yang sangat berat dalam sistem perekonomian nasional.
Berita-berita yang dimuat harian Kompas, 13-18 Mei 1998, tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan erat, berawal dari penembakan empat mahasiswa Universitas Trisakti, lalu berkembang menjadi aksi kerusuhan massa dan penjarahan. Hampir 500 perusuh dan penjarah tewas terpanggang dalam insiden ini. Sementara itu, desakan aktivis berbagai organisasi dan pimpinan lembaga keagamaan agar Soeharto mengambil langkah terbaik (baca: mundur sebagai Presiden) terdengar makin keras. Peristiwa Mei 1998 menjadi tonggak penting dalam sejarah negeri ini.
(ROBERT ADHI KSP, DIOLAH DARI BERITA-BERITA HARIAN KOMPAS, 14-18 MEI 1998)
Seorang mahasiswa jatuh tergeletak terkena pukulan pasukan anti huru hara yang berusaha membubarkan aksi unjuk rasa menuntut Presiden Soeharto mundur, di depan kampus Trisakti, Grogol pada tanggal 12 Mei 1998. Pada aksi tersebut beberapa mahasiswa Trisakti tewas terkena tembakan.
KOMPAS/JULIAN SIHOMBING
Seorang mahasiswa tergeletak di tepi jalan saat terjadi kerusuhan menyusul demontrasi mahasiswa di depan kampus Universitas Trisakti Jakarta, 12 Mei 1998. Penembakan empat mahasiswa Trisakti inilah yang memicu kerusuhan massa dan aksi penjarahan, yang pada gilirannya memaksa Presiden Soeharto mundur.
KOMPAS/JULIAN SIHOMBING

Peringatan sembilan tahun tragedi Trisakti 12 Mei 1998 diikuti ratusan mahasiswa Universitas Trisakti. Mereka berunjuk rasa menuju Gedung MPR/DPR, Jakarta, Jumat (11/5/2007), karena kecewa terhadap kinerja DPR yang tidak pernah melakukan tekanan politis untuk menyingkap siapa yang bertanggung jawab atas tragedi tersebut.
KOMPAS/AGUS SUSANTOPeringatan sembilan tahun tragedi Trisakti 12 Mei 1998 diikuti ratusan mahasiswa Universitas Trisakti. Mereka berunjuk rasa menuju Gedung MPR/DPR, Jakarta, Jumat (11/5/2007), karena kecewa terhadap kinerja DPR yang tidak pernah melakukan tekanan politis untuk menyingkap siapa yang bertanggung jawab atas tragedi tersebut.
sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/05/18/Jakarta-Membara-dan-Soeharto-Siap-Mundur?utm_source=bacajuga
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...