Friday, June 10, 2016

Saksi Hidup Kerusuhan Mei 1998 Dosen TRISAKTI

JAKARTA

Saksi Hidup Kerusuhan Mei 1998 Dosen TRISAKTI

RepublikHotNews –  Saya sudah berjanji untuk mengangkat terus kasus kerusuhan mei 1998, sampai tragedi ini kembali di usut sampai tuntas,  hari ini saya ingin menulis artikel dari seseorang saksi sejarah di kerusuhan mei 1998 langsung saja, berikut isi artikel nya.
Saksi Hidup Kerusuhan Mei 1998 ( Pemerkosaan Gadis Tionghoa besar-besaran)
Kebetulan yang menjadi saksi sejarah ini adalah ayah saya sendiri karna beliau merupakan dosen penguji di fakultas kedokteran trisakti. Sekaligus dokter yang berpraktik di rumah sakit cipto mangunkusumo. jadi menurut saya, ayah saya ini merupakan saksi sejarah dari peristiwa kerusuhan mei 1998. inilah beberapa kesaksian dan hipotesis ayah saya.
Tidak ada yang dapat membantah bahwa peristiwa kerusuhan mei 1998 berkait dengan kasus Trisakti 1998 yang terjadi sehari sebelumnya. Banyak ahli atau orang awam yang berpendapat bahwa peristiwa
Trisakti yang menyebabkan terjadinya peristiwa ini tetapi ada pula yang berpikir lain, peristiwa ini merupakan design besar dan Trisaksi menjadi salah satu bagian darinya. Apapun itu, yang jelas peristiwa ini tidak terjadi dengan begitu saja, pasti ada penyebabnya.
Sebenarnya, jika kita cermati, Kerusuhan Mei’ 98 telah dimulai sejak 2 Mei 1998 di Medan,Sumatera utara. Saat itu, terjadi demontrasi mahasiswa yang berakhir bentrokan. Peristiwa ini kemudian berlanjut hingga tanggal 4, Sekelompok pemuda melakukan dan pembakaran di beberapa titik/daerah di Medan. Massa yang berada disekitarnya terpancing untuk melakukan perusakan beberapa bangunan dan menyerang apart keamanan. Saat itu, sentimen anti polisi berkembang sehingga beberapa kantor dan pos polisi menjadi sasaran amuk massa. Mahasiswa berusaha mengendalikan situasi tetapi gagal karena telah meluas.
Setelah peristiwa Trisaksi terjadi, Jakara menjadi kota yang mencekam. Jauh hari sebelumnya, isu bahwa akan terjadi kerusuhan besar sudah santer di kampung-kampung. ” Saya sudah dengar sih beberapa hari sebelumnya kalau mo ada kerusuhan, tapi nggak kebayang anak saya jadi korban” ungkap salah satu ibu korban di bilangin Klender. Demikian halnya dengan isu yang berbau anti cina mulai terdengar beberapa minggu sebelumnya, Walaupun hanya dari mulut ke mulut. Isu-isu tersebut disebarkan oleh orang yang tidak dikenal dan bukan berasal dari kampung tersebut.
Keesokan hari setelah terjadinya penembakan terhadap mahasiswa di Trisaksti, bilangan Splipu mulai “panas” dengan aksi yang dilakuka oleh massa yang tidak dikenal. Mereka mulai melakukan pelemparan dan pembakaran ban di jalan. Aksi yang serupa terjadi di beberapa daerah dalam waktu yang serempak. Sekitar pukul 10.00 – 13.00 Cipulir, Salemba, Jatiegara, Klender, Tangerang, Cikini, Slipi, Pasar Minggu dan Tanah Abang mulai terjadi pelemparan yang dilakukan oleh sekelompok remaja berpakaian sekolah.
Menurut data dari Tim Relawan untuk kemanusiaan (TRK) dan diperkuat hasil penyelidikan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), kelompok tersebut sangat sulit di identifikasi namun mempunyai banyak kesamaan, yaitu:
  • Berpakaian seragam sekolah
  • Berbadan Tegap
  • Rambut Cepak
  • Memakai sepatu  boot (Militer) dengan wajah sangar
  • mempersiapkan berbagai perlengkapan kerusuhan seperti batu, cairan pembakar dan alat pembakar
Mereka ditempatkan dengan menggunakan alat transportasi seperti truk dan kendaraan bermotor lainnya.
Pola kerusuhan yang terjaid adalah setelah melakukan pelemparan, mereka kemudian melakukan perusakan beberapa toko yang dilanjutkan dengan melakukan penjarahan sambil berteriak mengajak massa lainnya untuk masuk. massa – masyarakat yang menonton kemudian ikut melakukan penjarahan. beberapa barang di keluarkan kemudian dibakar oleh sekelompok orang. Setelah massa tersebut mulai masuk, kelompok yang tadi memulai kemudian mundur dan menghilang. Di beberapa daerah seperti pasar minggu dan Klender, Pembakaran dilakukan oleh kelompok yang tidak dikenal tersebut dengan menyiramkan bensin dan kemudian membakarnya.
Peristiwa ini terus berlangsung hingga tanggal 15, dimana terjadi juga peristiwa perkosaan dan pelecehan seksual terhadap perempuan yang mayoritas berasal dari etnis Tionghoa. Peristiwa ini tidak dapat dipaparkan karena data yang dimiliki saat ini masih sangat minim dan sangat sensitif. Namun, bukan berarti bahwa peristiwa ini tidak terjadi atau tidak dapat dibuktikan.
Aparat keamanan yang sebelumnya begitu “tegas” menindak setiap aksi yang terjadi, seperti menghilang saat terjadinya peristiwa ini. Konsentrasi aparat keamanan terlihat di daerah Menteng. Cilangkap dan beberapa wilayah Sudirman. Terdapat beberapa fakta yang membuktikan bahwa terjadi penarikan pasukan ke Mabes Tni dan pasukan bantuan dari luar Jakarta tidak langsung diturunkan untuk mengamankan kota. Kerusuhan ini tampak seperti dibiarkan terjadi tanpa ada usaha untuk mencegahnya.
Korban
 
Pada kerusuhan Mei, Tim Relawan untuk kemanusiaan (TRK) mencatat korban yang jatuh berjumlah 1.190 orang akibat terbakar, 27 orang akibat senjata/ dan lainnya, 91 luka-luka. Angka diatas belum termasuk korban kekerasan seksual di beberapa kota.
Inilah hipotesis ayah saya
  • Sebelum kerusuhan MEI 1998: Soeharto telah memerintahkan menantunya Prabowo untuk membereskan aktivis2 dari mahasiswa, LSM, dll yang telah merongrong wibawanya.
  • Prabowo melaksanakan dengan melakukan penculikan, intimidasi, dan pembunuhan para aktifis dan mahasiswa ” militan ” itu, dilaksanakan oleh pendukung setia nya seperti : Kivlan Zein ( dijuluki Mayjen ” Kunyuk” oleh Gus Dur), Muchdi, Sjafrie Syamsuddin, Zakky Makarim, dll. Didukung oleh Feisal Tandjung.
  • Sampai pada puncaknya Demonstasi gabungan oleh mahasiswa Trisaksti yang sangat menghujat Soeharto dengan tulisan2 di tembok2 kampus, jembatan layang Grogol ( “Soeharto anjing”, “koruptor bangsa”, “Gantung Soeharto”, dll).
  • Soeharto habis kesabarannya sehingga menyuruh Wiranto dan Prabowo “membereskan” mahasiswa Trisakti dan menghentikan demonstari mereka dengan segala cara.
  • Wiranto dan Prabowo menyusun rencana untuk menghentikan demonstari mahasiswa dengan cara: pertama- tama Soeharto harus ke luar negeri dulu (Mesir) agar dia punya alibi di mata internasional, bahwa bukan dia penggagas-nya, lalu mereka menyiapkan sniper / penembak jitu di jembatan layang Grogol yang menyamar sebagai Brimob dan menembak beberapa mahasiswa Trisaksi yang sedang berdemo di kampus – dilaksanakan tanggal 12 Mei 1998
  • Besoknya (tgl 13 Mei 1998) dilaksanakan kerusuhan terbatas sekitar Trisaksi / Daan Mogot dan Kyai Tapa dengan memakai preman2, pasukan Tidar (drop put Akabri yang direkrut Prabowo) yang menyamar memakai baju seragam SMA dan jaket almamater Trisakti membakar pom bensin dan toko-toko ( lihat laporan Tim Relawan dan TGPF). Mereka sebelumnya sudah berteriak2 memanggil mahasiswa2 di dalam kampus untuk bergabung ke jalan, namun ditolak oleh mahasiswa ( menurut kesaksian mahasiswa2 ). Berikutnya pos2 polisi dibakar juga beberapa buah, untuk membuktikan bahwa ” mahasiswa/rakyat” membalas dendam atas “kebringasan polisi menembak mahasiswa”.
  • Pos – pos polisi juga dibakar ( polisi yang sudah tahu, telah mengungsi dan membiarkan pos nya kosong) untuk menamkan kepercayaan bahwa “mahasiswa dan masyarakat membalas dendam atas tertembaknya mahasiswa Trisakti”.
  • Direncanakan setelah itu kerusuhan dipadamkan dengan korban yang cukup besar (nyawa dan harta benda), sehingga segala demonstrasi mahasiswa akan dilarang secara hukum karena mahasiswa demonstran itu ” telah mengakibatkan ekses kerusuhan”. dan kehancuran aset dan kehilangan nyawa manusia.
  • Pada saat itu Prabowo mempunyai rencana / agenda tersendiri untuk mencapai cita2nya untuk menjadi Pangab dan menggeser Wiranto.
  • Hal ini sudah direncanakan jauh2 hari namun saat itulah yang paling tepat dilakukan, bersama – sama dengan geng – nya seperti yang di sinyalir oleh Gus Dur sebagai ” otak kerusuhan” berinisial ES ( Eggy Sudjana), As (Adi Sasono), Fadli Zon, Gogon ( Ahmad Soemargono – KISDI), dll.
  • Prabowo segera menghimpun anak buahnya pasukan Tidar, pncak silat Kisdi, preman2 Cengkarang, Tanah Abang, Pemuda Pancasila, dll untuk melaksanakan proyeknya berupa pembakaran Glodok building, Harco, Orion Plaza dan sekitarnya juga diperluas sampai ke Mall2 di seluruh Jakarta disertai pembakaran hidup2 lebih dari 1.000 orang untuk mendramatisasi keadaan yang kacau,
  • Pemerkosaan terhadap perempuan2 etnik Cina dilakukan untuk “Shock Therapy” agar sebagian besar orang Cina kabur ke luar negri atau bersembunyi. Juga agar jika ada saksi mata orang Cina yang masih hidup, dapat diancam (karena sebagian data2 dirinya, KTP diambil), dipermalukan dll. Setelah itu jika mereka takut kembali, aset-asetnya dapat disita
  • Setelah Prabowo nantinya ” berkuasa” akan diterapkan sistem ekonomi rasialis/diskriminatif ala Malaysia, karena dianggap ” Masyarakat juga membenci orang2 Cina yang menguasai ekonomi”. Beberapa minggu sebelumnya mereka telah beraudiensi ke UMNO ( berdasarkan berita surat kabar akhir april 1998). bukan kebetulan jika “kerusuhan rasialis” yang di rekayasa UMNO/Mhathir adalah tanggal 13 Mei 1969! (berdasarkan tulisan Duncan Campbell, “When Mobs Turn On The Merchants”). Setelah itu mereka bisa memelihara beberapa oknum pengusaha cina dan suku2 lainnya yang mau berkolaborasi (KNN) dengan mereka.
  • Tujuan lain Prabowo dengan memperluas kerusuhan adalah untuk mendiskreditkan Wiranto agar dianggap tidka becus oleh Soeharto dalam mengisolasikan kerusuhan sehingga Wiranto diturunkan dan diganti Prabowo yang seolah-olah melalui anak buahnya Sjafrie Sjamsuddin (Pangdam V Jaya waktu itu) berhasil mengatasi situasi di hari ke – 4 dengan berkeliling naik panser.

Wiranto yang ada pada waktu kerusuhan tidak mendapat pasukan segera mengontak anak buah setia nya Djaja Suparnam dari Kodam Siliwangi untuk mensuplai pasukan, dan terbang ke Malang. Sjafrie S telah mengacak-acak keberadaan pasukan Kodam V dan sebagian di suruh berdiam di markas, sementara pasukan Kostrad dibawah kendali Prabowo, sehingga tidak cukup suplai pasukan bagi Wiranto untuk memadamkan kerusuhan yang telah “merembet ke seluruh Jakarta”.
    • Soeharto pulang dari Mesir dan langsung memanggil mereka.
    • Namun situasi sudah keburu memanas di mana gabungan kekuatan mahasiswa telah bergerak menduduki gedung DPR / MPR
    • Ketua MPR Harmoko “berkhianat” bersama-sama dengan wakil2nya (Syarwan Hamid, dll) menganjurkan Soeharto agar turun tahta. Dia sakit hati karena rumahnya di Solo juga dibakar.
    • Wiranto berusaha membela dengan mengatakan itu adalah pendapat pribadi Harmoko bukan sebegai ketua MPR.
    • Mahasiswa2 dan banyak lagi LSM lain mengultimatum akan mengadakan demonstrasi besar2an tgl 20 mei 1998.
    • Para mentri kabinet mengancam akan mengundurkan diri jika Soeharto terus bertahan.
    • Presiden Clinton kemungkinan besar menelpon/mengultimatum Soeharto agar segera turun tahta sebelum terjadi pertumpahan darah yang hebat antara mahiswa dan tetara. (Menurut siaran radio BBC dan Hong Kong yang di pantau pada hari itu). Dengan menyiapkan armada VII nya untuk merapat ke Tanjung Priok.
    • Soeharto menyerah dan mengundurkan diri setelah Habibie & Wiranto meyakinkan dia untuk membela dia dan keluarganya jika dia mundur.
    • Mahasiswa2 dan Demonstran2 lainnya dibersihkan, kemungkina oleh Wiranto/Habibie dari gedung MPR/DPR dengan memakai Pemuda Pancasila, Pecnak Silat KISDI, preman yang bersenjatakan golok dan di-back up oleh Kostrad. “beruntung”, Marinir menetralisir keadaan dengan ” membantu mengawal” mahasiswa keluar komplek MPR/DPR, dengan alasan Soeharto telah lengser keprabon.
    • Wiranto yang telah mengetahui apa yang terjadi dan telah mengkonsolidasikan kekuatan/pasukannya, sangat marah dengan Prabowo dan mengadakan deal/kesepakatan dengan Habibie untuk menyingkirkannya dan mencopot jabatannya sebegai Pangkostrad saat itu juga.
    • Prabowo marah dan mengepung istana dan meminta Habibie untuk meninjau ulang keputusannya ( lihat wawancara Habibie dengan koran Jerman Der Spriegel), namun Habibie tetap membela Wiranto.
    • Mamiek sangat marah dengan Prabowo dan menudingnya ” kamu pengkhianat jangan injak rumah saya lagi!” pada waktu ada pertemuan keluarga.
    • Sejak itu Prabowo diasingkan oleh keluarganya dan Wiranto, Sehingga kabur Ke Jordania menemui teman akrabnya Pangeran (waktu, Sekarang Raja) Jordania.
    • Prabowo pernah mau pulang pada akhir tahun 1998, namun di sindir Gus Dur: “Jangan Pulang, nanti digebuki preman – preman Cengkarang” maksudnya preman2 Cengkareng yang dipakai juga buat melakukan kerusuhan itu mungkin akan menagih janji ( mungkin belum dibayar atau banyak teman2nya yang dibunuh setelah misi memperkosa, menjarah, membunuhnya, selesai).
    • Sekarang dengan jatuhnya Wiranto, Prabowo merasa lebih aman, dan mau mencuci namanya dengan menerbitkan buku.

    Lihat betapa rumit permasalahannya dan melibatkan begitu banyak orang. Sehingga memang tidak mudah untuk mengadili Prabowo, karena dia bisa-bisa “menyanyi”/ mengaku, dan ujung2 nya Soeharto, Wiranto, Feisal Tandjung dll bisa terkena juga.
    Berikut ini adalah isi artikel nya… biarlah anda yang menilai cerita kisah tersebut.. yang saya ambil dari cerita ini dan sangat saya sesalkan kenapa harus ada korban apakah pantas sebuah kursi ke presiden diperebutkan sampai harus mengorbankan manusia tidak berdosa dan wanita korban pemerkosaan harus menanggung dampak nya sampai akhir hidupnya.menurut saya, Walaupun pemimpin negara ,Apabila terbukti bersalah harus di adili… Perbuatan salah harus ada hukumannya.

LINI MASA: Hari-hari jatuhnya Suharto





LINI MASA: Hari-hari jatuhnya Suharto

4 mahasiswa Trisakti tewas pada 12 Mei 1998, hingga Suharto mundur pada 21 Mei 1998
JAKARTA, Indonesia — Penguasa Orde Baru yang bertahan selama 32 tahun, Suharto, jatuh pada Mei 1998, berkat kekuatan sipil.
Meski demikian, Suharto diyakini tidak benar-benar jatuh. Penulis Pramoedya Ananta Toer, yang juga mantan tahanan politik dan dibuang ke Pulau Buru, pernah berkomentar atas kejatuhan Suharto.
"Mereka banyak bertanya kepada saya, 'Anda suka Harto sudah jatuh sekarang?' Oh, saya bilang, jatuhnya Suharto itu badut-badutan saja. Kalau betul dia jatuh, dia lari ke luar negeri. Karena dia tidak pergi ke luar negeri, artinya dia masih berkuasa melalui tangan yang lain," kata Pramoedya menyindir.
Sindiran itu ditujukan pada BJ Habibie, pengganti Suharto saat itu. Namun upaya untuk menuntut Suharto mundur tak berlangsung satu, dua hari saja.
Berikut detik-detik lengsernya penguasa Orde Baru yang juga dijuluki Bapak Pembangunan tersebut, yang Rappler rangkum dari berbagai sumber:
5 Maret 1998
Dua puluh mahasiswa Universitas Indonesia (UI) mendatangi gedung DPR/MPR RI di Jakarta untuk menyatakan penolakan terhadap pidato pertanggungjawaban presiden yang disampaikan pada Sidang Umum MPR dan menyerahkan agenda reformasi nasional. Mereka diterima Fraksi ABRI.
11 Maret 1998
Suharto dan Habibie disumpah menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
14 Maret 1998
Suharto mengumumkan kabinet baru yang dinamai Kabinet Pembangunan VII.
15 April 1998
Suharto meminta mahasiswa mengakhiri protes dan kembali ke kampus, karena sepanjang bulan ini mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi swasta dan negeri melakukan unjuk rasa menuntut dilakukannya reformasi politik.
18 April 1998
Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI Jendral Purnawirawan Wiranto dan 14 menteri Kabinet Pembangunan VII mengadakan dialog dengan mahasiswa di Pekan Raya Jakarta, namun cukup banyak perwakilan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang menolak dialog tersebut.
1 Mei 1998
Suharto, melalui Menteri Dalam Negeri Hartono dan Menteri Penerangan Alwi Dachlan, mengatakan bahwa reformasi baru bisa dimulai pada 2003.
2 Mei 1998
Pernyataan itu diralat dan kemudian dinyatakan bahwa Suharto mengatakan reformasi bisa dilakukan pada 1998.
4 Mei 1998
Mahasiswa di Medan, Bandung, dan Yogyakarta menyambut kenaikan harga bahan bakar minyak (2 Mei 1998) dengan demonstrasi besar-besaran. Demonstrasi itu berubah menjadi kerusuhan saat para demonstran terlibat bentrok dengan petugas keamanan. Di Universitas Pasundan Bandung, misalnya, 16 mahasiswa luka akibat bentrokan tersebut.
5 Mei 1998
Demonstrasi mahasiswa besar-besaran terjadi di Medan yang berujung pada kerusuhan.
9 Mei 1998
Suharto berangkat ke Kairo, Mesir, untuk menghadiri pertemuan KTT G-15. Ini merupakan lawatan terakhirnya ke luar negeri sebagai Presiden RI.
12 Mei 1998
Aparat keamanan menembak empat mahasiswa Trisakti yang berdemonstrasi secara damai. Keempat mahasiswa tersebut ditembak saat berada di halaman kampus.
13 Mei 1998
Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi datang ke kampus Trisakti di Grogol, Jakarta Barat, untuk menyatakan duka cita. Kegiatan itu diwarnai kerusuhan.
14 Mei 1998
Suharto mengatakan bersedia mengundurkan diri jika rakyat menginginkan. Ia mengatakan itu di depan masyarakat Indonesia di Kairo.
Sementara itu kerusuhan dan penjarahan terjadi di beberapa pusat perbelanjaan di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek). Beberapa dari bagunan pusat perbelanjaan itu dirusak dan dibakar. Sekitar 500 orang meninggal dunia akibat kebakaran yang terjadi selama kerusuhan terjadi.
15 Mei 1998
Suharto tiba di Indonesia setelah memperpendek kunjungannya di Kairo. Ia membantah telah mengatakan bersedia mengundurkan diri.
Suasana Jakarta masih mencekam. Toko-toko banyak ditutup. Sebagian warga pun masih takut keluar rumah.
16 Mei 1998
Warga asing berbondong-bondong kembali ke negeri mereka. Suasana di Jabotabek masih mencekam.
19 Mei 1998
Suharto memanggil 9 tokoh Islam seperti Nurcholis Madjid, Abdurachman Wahid, Malik Fajar, dan KH Ali Yafie. Dalam pertemuan yang berlangsung selama hampir 2,5 jam itu para tokoh membeberkan situasi terakhir, di mana eleman masyarakat dan mahasiswa tetap menginginkan Suharto mundur.
Permintaan tersebut ditolak Suharto. Ia lalu mengajukan pembentukan Komite Reformasi. Pada saat itu, Suharto menegaskan bahwa ia tak mau dipilih lagi menjadi presiden. Namun hal itu tidak mampu meredam aksi massa, mahasiswa yang datang ke gedung DPR/MPR RI untuk berunjukrasa semakin banyak.
Sementara itu, tokoh reformasi Amien Rais mengajak massa mendatangi Lapangan Monumen Nasional untuk memperingati Hari Kebangkitan Nasional.
20 Mei 1998
Jalur menuju lapangan Monumen Nasional (Monas) diblokade petugas dengan pagar kawat berduri untuk mencegah massa masuk ke komplek Monas, namun pengerahan massa tak jadi dilakukan.
Pada dini hari, Amien Rais meminta massa tak datang ke lapangan Monas karena ia khawatir kegiatan itu akan menelan korban jiwa. Sementara ribuan mahasiswa tetap bertahan dan semakin banyak berdatangan ke gedung DPR/MPR RI. Mereka terus mendesak agar Suharto mundur.
21 Mei 1998
Di Istana Merdeka, Kamis, pukul 09:05 WIB, Suharto mengumumkan mundur dari kursi presiden. BJ Habibie disumpah menjadi presiden RI ketiga. —Rappler.com

Apa yang sebenarnya terjadi pada malam 20 Mei 1998?

Apa yang sebenarnya terjadi pada malam 20 Mei 1998?

Buku ‘Dari Gestapu ke Reformasi’ ceritakan pengalaman si penulis yang ikut dalam sebuah rapat yang tentukan tata cara peralihan kekuasaan 21 Mei 1998. Apakah 6 tuntutan gerakan reformasi sudah dipenuhi?
Infografis Tragedi Mei 1998 oleh @sketsagram

Infografis Tragedi Mei 1998 oleh @sketsagram
Sebuah panggilan telepon diterima Salim Said, seorang wartawan senior, kolumnis, dan pakar politik dan kemiliteran. Peristiwanya terjadi 20 Mei 1998, tepat 17 tahun lalu.
Penelpon adalah staf Letnan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), saat itu menjabat sebagai Kepala Staf Sosial Politik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Salim diminta hadir dalam sebuah rapat yang diadakan malam itu, pukul 19.00 WIB, di Gedung Urip Sumohardjo, di kompleks Departemen Pertahanan dan Keamanan yang terletak di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.
“Mobil saya hanya bisa mengantar sampai ke Tugu Tani di Menteng Raya, sebab di sanalah ‘garis perbatasan’ terletak,” tutur Salim menceritakan peristiwa ini dalam bukunya yang berjudul Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian kesaksian.
Di paragraf sebelum telepon masuk, Salim menceritakan peristiwa 20 Mei 1998 yang dipicu oleh rangkaian peristiwa hari-hari sebelumnya yang kita kenal sebagai Tragedi Mei 1998, atau hari-hari menuju reformasiTuntutan agar Presiden Suharto mundur makin kencang, baik di jalanan maupun di Gedung MPR/DPR, tempat ribuan mahasiswa dan aktivis menyerukan reformasi.
Menjelang 20 Mei 1998, Amien Rais, yang saat itu dianggap sebagai lokomotif reformasi, tokoh terpenting dalam proses itu, mengumumkan agar pada 20 Mei rakyat Indonesia membanjiri lapangan Monumen Nasional (Monas), meneriakkan agar Suharto mundur. Lapangan Monas terletak persis di depan Istana Kepresidenan. Di sekitarnya juga ada obyek vital seperti Markas Besar Angkatan Darat, Departemen Pertahanan, Gedung Radio Republik Indonesia, Gedung Telkom, Gedung Bursa Efek, dan sejumlah kantor kementerian.
“Yang ditakutkan oleh petinggi militer saat itu adalah, massa akan merangsek ke mana-mana. Itu sebabnya aparat keamanan memiliki alasan kuat untuk mencegah pengumpulan massa di Monas,” kata Salim.
Sampul buku 'Dari Gestapu ke Reformasi' yang ditulis oleh pakar kemiliteran Salim Said. Foto oleh Uni Lubis
Sampul buku 'Dari Gestapu ke Reformasi' yang ditulis oleh pakar kemiliteran Salim Said. Foto oleh Uni Lubis
Malam hari sebelumnya, militer memasang barikade di semua jalan menuju lapangan Monas dengan cara mengerahkan tank, panser, sampai kawat berduri. Meskipun Amien Rais akhirnya membatalkan rencana demo di Monas, aparat keamanan tak mau ambil risiko. Monas dan sekitarnya menjadi wilayah tertutup dari segala penjuru.
Dalam keadaan serba tertutup itu, Salim mendapat undangan pertemuan di Gedung Dephan. Mayor Benny, staf kantor Sospol ditugasi menjemput Salim di “perbatasan” memasuki wilayah tertutup. Jalanan sepi. Yang bergerak hanya kendaraan militer.
“Penyeberangan ke dalam wilayah Monas yang dijaga ketat mengingatkan saya pada pengalaman menyeberang dari Berlin Barat ke Berlin Timur yang saya alami pertama kali pada musim semi 1970,” kenang Salim.
Ketika memasuki ruang rapat, Salim melihat sejumlah perwira tinggi ABRI, termasuk antara lain Letjen Hari Sabarno (kemudian menjadi Menteri Dalam Negeri di era Megawati Sukarnoputri). Hadir juga tim dari Universitas Indonesia yang dipimpin rektornya. Ada juga Prof. Harun Al Rasyid dan Prof. Zen Umar Purba, guru besar di bidang ketatanegaraan. Turut hadir Prof. Ryaas Rasyid, dan tentu saja Letjen TNI Susilo Bambang Yudhoyono sebagai tuan rumah.
Menu makan malam saat itu adalah nasi kotak, yang isinya nasi gudeg. Mereka menunggu datangnya Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto. Ketika Wiranto sudah bergabung, rapat dimulai, dipimpin oleh SBY.

Agenda rapat: Kalau Suharto mundur, bagaimana sebaiknya cara mundurnya? 

Salim menuturkan, saat itu Harun Al Rasyid menjelaskan, bahwa berdasarkan Pasal 8 UUD 1945, kalau presiden mundur dan tidak lagi dimungkinkan menjalankan tugasnya, maka wakil presiden yang akan mengambilalih.
“Tidak ada debat mengenai ini. Semua yang hadir tampaknya sepakat. Tidak lama kemudian, Panglima Wiranto meninggalkan ruangan. Bambang Yudhoyono meneruskan rapat,” kata Salim.
Menurut Salim, Hari Sabarno sepakat dengan pelaksanaan Pasal 8 UUD 1945, tapi meragukan kewibawaan Wakil Presiden B.J. Habibie untuk tampil menggantikan Soeharto.
“Pada titik itu saya mendadak teringat pengalaman hari-hari awal Orde Baru ketika timbul keraguan mengenai apakah Jenderal Soeharto — yang sebelum Gestapu hampir tidak dikenal publik — cukup berwibawa menggantikan Sukarno? Atas prakarsa Jenderal Nasution, para pimpinan ABRI sepakat menyatakan dukungannya kepada Suharto.”
“Apakah sekarang pimpinan ABRI tidak bisa menyelamatkan negara dan konstitusi dengan cara mendukung proses peralihan kekuasaan secara tradisional?” Salim membisikkan pemikirannya kepada Ryaas Rasyid, yang lantas memintanya menyampaikan secara terbuka dalam rapat.
Dia mengancungkan tangan, dan menyampaikan gagasan itu kepada pemimpin rapat, Bambang Yudhoyono. Rapat selesai, masing-masing diantar pulang melewati “perbatasan”.
Beberapa hari sesudah itu, Salim mendapat informasi bahwa saat rapat di Gedung Urip Sumohardjo berlangsung, malam 20 Mei, Presiden Suharto melalui ajudannya memanggil Jenderal Wiranto dan Sekretaris Negara Sa’adillah Mursyid. Keduanya diminta mempersiapkan timbang terima dari Presiden Suharto kepada penggantinya, Wakil Presiden B.J. Habibie.
Keesokan harinya, 21 Mei 1998, Suharto mengumumkan mundur dari jabatan yang didudukinya selama 32 tahun. Habibie langsung disumpah sebagai presiden ketiga Republik Indonesia.
Versi Wiranto
Civitas akademika Universitas Trisakti memberi penghormatan kepada 4 mahasiswanya yang tewas saat Tragedi Mei 1998. Foto oleh Gatta Dewabrata/Rappler

Civitas akademika Universitas Trisakti memberi penghormatan kepada 4 mahasiswanya yang tewas saat Tragedi Mei 1998. Foto oleh Gatta Dewabrata/Rappler
Dalam bab berjudul Yang Keluar Dari Saku Jenderal Wiranto, Salim juga menuliskan penuturan Wiranto tentang proses peralihan kekuasaan yang dimulai dengan perintah Suharto, 20 Mei 1998, saat rapat di Gedung Urip berlangsung. Penuturan Wiranto disampaikan kepada Salim Said pada 12 Januari 2012.
Saya mengutip secara lengkap, berikut ini:
“Ketika rapat masih berlangsung saya mendapat pesan agar segera menghadap Pak Harto di Jalan Cendana, kediaman pribadi beliau. Saya ditemani oleh dua perwira tinggi, Jenderal Subagio, KSAD waktu itu; dan Mayjen Endriartono Sutarto, Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres). Sebelum masuk ruangan, saya diberitahu ajudan bahwa Pak Habibie, wakil presiden, baru saja diterima Pak Harto.
Ada dua hal yang disampaikan Pak Harto kepada saya. Pertama, beliau menyatakan akan mundur besok pagi. Kedua, menyerahkan dokumen yang juga dikenal sebagai Instruksi Presiden No. 16 Tahun 1998, yang berisi pengangkatan saya menjadi Komando Kewaspadaan dan Keselamatan. Ini adalah sebuah Inpres yang berinduk kepada Ketetapan (TAP) MPR No. V tahun 1998 yang memberikan kewenangan kepada presiden untuk mengambil langkah-langkah khusus dalam keadaan kritis.
Langkah khusus itu adalah menerbitkan Inpres untuk mengangkat seorang perwira tinggi menjadi Panglima Komando dari badan baru yang disebut Komando Kewaspadaan tersebut. Badan baru itu sebenarnya, sesuai petunjuk Presiden, sudah disiapkan di Mabes ABRI dalam dua pekan terakhir. Para perwira tinggi yang ikut mempersiapkannya melihat badan baru itu sebagai semacam Kopkamtib.
Biasanya seorang atasan memberi perintah untuk dilaksanakan dan yang menerima perintah akan menerimanya dengan mengucapkan, 'Siap, laksanakan!'. Malam itu keadaannya lain sama sekali. Penyerahan Inpres diantar dengan ucapan, 'Instruksi ini saya berikan, kamu boleh pakai, boleh tidak'."
Kepada Salim, Wiranto juga menyampaikan bahwa dirinya sempat menyampaikan kepada Soeharto bahwa meskipun posisi politik Soeharto melemah, tetapi “ABRI akan tetap mempertahankan pemerintahan yang sah.”
“Saya tidak ingin rakyat jadi korban,” demikian komentar singkat Suharto, sebagaimana dikutip Wiranto.
Wiranto lantas menceritakan apa yang dilakukannya malam itu, usai pertemuan di Cendana, 20 Mei 1998.
“Di Merdeka Barat, menjelang tengah malam, saya mengadakan rapat staf. Berapa mahasiswa yang akan menjadi korban kalau ABRI mengambilalih kekuasaan?” tanya Wiranto.
Dijawab dengan sekitar 200 sampai 250 orang oleh seorang jenderal dari staf panglima. Sejurus kemudian Kasospol Susilo Bambang Yudhoyono minta keputusan, “Panglima akan mengambilalih (kekuasaan)?”.
Jawab saya tegas, “Tidak. Besok kita bersama-sama akan mengantarkan pergantian presiden dari Pak Harto ke Wakil Presiden Habibie lewat sebuah proses yang konstitusional.”
Wiranto, sebagaimana ditulis dalam buku Salim, menitipkan beberapa poin dan meminta staf menyiapkan pernyataan Panglima.
“Yang menyusun pernyataan itu adalah SBY. Dengan sedikit perubahan saya bacakan setelah pergantian pimpinan negara di Istana pada pagi hari esoknya. Konsep asli tulisan SBY itu masih saya simpan sampai sekarang,” tutur Wrianto.
'Now it can be told'
Infografis Tragedi Mei 1998 oleh @sketsagram

Infografis Tragedi Mei 1998 oleh @sketsagram
Sebenarnya ada banyak buku yang menceritakan kejadian 17 tahun lalu. Saya juga menuliskannya di Majalah Panji Masyarakat tempat saya bekerja saat itu, hari demi hari selama proses reformasi.
Habibie, Wiranto, Prabowo, SBY, mereka punya versinya masing-masing. Saya tahu bahwa Salim dikenal dekat dengan kalangan militer karena posisinya sebagai pakar militer dari kalangan sipil.
Sebagaimana dikatakan oleh Salim yang kemudian ditugasi menjadi Duta Besar RI untuk Republik Ceko di era Presiden SBY, ada banyak peristiwa penting yang berlangsung di balik pintu tertutup, yang tidak bisa diakses wartawan saat itu. Now, it can be told.
Salim menulis buku ini antara lain untuk menjawab pertanyaan banyak mahasiswanya mengenai apa yang terjadi pada jam-jam jelang pergantian kepemimpinan pada 20-21 Mei, 17 tahun lalu.
Ada 6 tuntutan Gerakan Mahasiswa Indonesia ketika menggulirkan roda gerakan reformasi, yaitu:
  1. Adili Soeharto dan kroni-kroninya
  2. Laksanakan amandemen UU 1945
  3. Hapuskan Dwi Fungsi ABRI
  4. Pelaksanaan otonomi daerah yang seluas-luasnya
  5. Tegakkan supremasi hukum
  6. Ciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN
Pertanyaannya kini, apakah 6 tuntutan itu sudah berhasil dipenuhi?
Pengadilan Suharto tidak diteruskan, dengan alasan Suharto tidak memenuhi syarat kesehatan. Pengadilan kroni? Mungkin salah satu yang bisa disebutkan adalahpengadilan Bob Hasan dalam kasus pemetaan hutan oleh PT Mapindo Parama.
Ketika 14 menteri Suharto ramai-ramai mengirim surat menyatakan mundur dari kabinet Suharto pada 20 Mei 1998, Bob Hasan yang menjabat Menteri Perindustrian dan Perdagangan, memilih tetap dalam kabinet. Dia dikenal sangat dekat dengan Soeharto dan keluarganya.
Amandemen UU 1945 dilakukan, perubahan penting antara lain menyangkut pembatasan masa jabatan presiden, yang hanya bisa dua kali masa jabatan, masing-masing lima tahun.
Dwi fungsi ABRI dihapuskan, ABRI kembali ke tugas pertahanan negara. Ini dijalankan cukup konsisten, setidaknya sampai hari ini, dan menjadi salah satu kunci stabilitas demokrasi di Indonesia. Bandingkan dengan Thailand dan negara-negara di Timur Tengah.
Maret tahun ini saya diundang berbicara di sebuah acara diskusi tertutup soal konflik di Timur Tengah, oleh sebuah lembaga kajian di Bangkok, Thailand. Satu “peringatan” muncul. Thailand menjalani demokrasi politik selama 20 tahun, lantas kembali ke era junta militer. Kita tidak ingin yang terjadi di Thailand menulari Indonesia. Syaratnya, pemerintahan sipil yang kapabel, bersih, dan memenuhi aspirasi rakyat.
Harga pangan yang melambung tinggi adalah ancaman, dan itu salah satu yang memicu ketidakpuasan 17 tahun lalu. Ekonomi yang morat-marit dan korupsi.
Tegakkan supremasi hukum?
Ciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN? Apakah tuntutan ini sudah dipenuhi oleh para pemimpin di era reformasi? Dari era Presiden Habibie, Gus Dur, Megawati sampai SBY, dan kini tujuh bulan presiden Jokowi?
Saya mengajak Anda semua untuk membantu menjawab pertanyaan ini. Pertanyaan yang sama untuk adik-adik mahasiswa yang hari ini berencana untuk demo memperingati gerakan reformasi 20 Mei. —Rappler.com

Uni Lubis adalah mantan pemimpin redaksi ANTV. Follow Twitter-nya@unilubis dan baca blog pribadinya di unilubis.com


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...