18 Mei 1998, hari-hari menegangkan dimulai
Ribuan mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR. Soeharto terbitkan Inpres semacam 'supersemar'. Ketua DPR/MPR Harmoko menyarankan kepada Presiden Soeharto untuk mengundurkan diri.
JAKARTA, Indonesia – Gedung DPR/MPR dikuasai ribuan mahasiswa. Menteri ekonomi mengaku kewalahan. Sebagaimana dikutip dari wawancara dengan Ginandjar Kartasasmita, dalam bukunya, Managing Indonesia’s Transformation, An Oral History, situasi negara stagnan, ekonomi chaos setelah kerusuhan yang terjadi 14 Mei.
“Harga barang melesat, barang sulit didapat, karena pedagang China tidak ada,” kata Ginandjar, yang saat itu menjadi Menteri Koordinator Bidang Ekonomi. Kerusuhan mengancam warga Tionghoa. Banyak di antara mereka yang memilih pergi ke luar negeri atau mengungsi dari Jakarta.
Transportasi publik tidak berfungsi, banyak jalan ditutup, sebagian karena ketakutan akan terjadinya kerusuhan lanjutan. Para pekerja tidak bisa bekerja karena tidak ada angkutan. Banyak muatan di pelabuhan tidak bisa diturunkan, atau dinaikkan karena tidak ada pekerja.
“Situasi menjadi lebih parah karena hari itu beredar rumor bahwa Presiden akan mengumumkan keadaan darurat dan menggunakan kekuasaannya untuk melawan oposisi,” ujar Ginandjar. Terbayang pembantaian berdarah di Lapangan Tiannanmen.
Informasi yang juga beredar ke publik adalah Presiden Soeharto telah memberikan otoritas kepada Panglima Angkatan Bersenjata (ABRI) Jendral TNI Wiranto untuk menjalankan kekuasaan luar biasa yang diberikan oleh MPR kepada Presiden. Dalam Tap MPR No V Tahun 1998, Presiden diberikan kewenangan untuk mengambil langkah-langkah khusus dalam keadaan kritis.
Hari ini, 18 tahun lalu, Presiden Soeharto memang menerbitkan Instruksi Presiden No. 16 Tahun 1998, yang memberikan kewenangan kepada Panglima ABRI Wiranto untuk mengambil tindakan apapun sepanjang terkait dengan ketertiban dan keamanan. Inpres itu menunjuk Wiranto menjadi Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Kewaspadaan Nasional.
Di mata publik, surat itu bagaikan Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar yang memberikan kekuasaan tidak terbatas kepada Soeharto sebagai Panglima Komando Keamanan dan Ketertiban. Supersemar ditandatangani Presiden Sukarno pada 11 Maret 1966. Suharto menggunakan surat sakti itu untuk konsolidasi kekuasaan dan membangun rejim Orde Baru.
Menurut Ginandjar, beredar informasi bahwa atas masukan dari menantu Soeharto, Letnan Jendral Prabowo Subianto, Inspres No 16/1998 itu akan diberikan ke Jedral Subagyo Hadisiswoyo, Kepala Staf Aangkatan Darat. Subagyo menolak. “Ini bisa dianggap sebagai sinyal bahwa tentara ragu akan menggunakan kekuasaan luar biasa surat itu untuk memulihkan krisis politik,” kata Ginandjar.
Menurut Wiranto dalam buku memoarnya, Soeharto memberikan Inspres itu seraya berkata: "Instruksi ini saya berikan. Kamu boleh pakai, boleh tidak.” Wiranto akhirnya tidak menggunakan inpres 16/1998 itu. Mengapa? Bisa dibaca di sini.
Ginandjar mengatakan, setelah mempelajari situasi yang terjadi bersama sejumlah menteri senior di kabinet, yaitu empat menteri koordinator, mereka memutuskan menemui Presiden Soeharto. Mereka ingin memberikan masukan terkait dengan situasi ekonomi dan politik dan mendesak penanganan krisis politik.
“Kami sepakat untuk menyarankan kepada presiden bahwa kita perlu solusi politik yang damai, dan menghindari penggunaan kekuatan,” ujar Ginandjar.
Ginandjar dan kolega menteri tiba di kediaman pribadi Soeharto di Jalan Cendana No 8, Menteng, tanggal 18 Mei malam hari. Ketika menunggu giliran bertemu presiden, tampak Sudharmono (mantan wakil presidennya Soeharto, juga orang kepercayaannya), dan Wapres B.J. Habibie masuk berurutan menemui Soeharto.
“Ketika akhirnya kami bertemu dengan Presiden, kami tidak jadi menyampaikan pendapat. Mungkin Presiden sudah menangkap apa maksud para menteri menemuinya. Dia mendominasi percakapan, dan hanya memberikan sedikit kesempatan kepada kami untuk berbicara,” tutur Ginandjar. Ada nuansa percaya diri pada Soeharto malam itu.
“Saya ingat betul, Pak Harto mengatakan bahwa beberapa orang termasuk mereka yang berpangkat tinggi di lingkungan militer mendesaknya menggunakan kekuatan, sebagaimana yang dia gunakan di masa lalu, untuk memulihkan keamanan dan stabilitas. Tapi dia (Pak Harto) mengatakan bahwa dirinya tak akan menggunakan kekuatan karena itu akan mengabaikan kemajuan dalam pembangunan, yang telah memakan begitu banyak kerja keras dan upaya,” ujar Ginandjar. Dari cara Soeharto menyampaikan hal itu, Ginandjar merasa bahwa Soeharto mengatakannya dengan tulus.
Hari itu, pimpinan DPR mengadakan rapat. Pada sekitar pukul 15:00 WIB, Ketua DPR/MPR Harmoko menyampaikan keterangan pers yang isinya meminta Presiden Soeharto bersikap arif dan bijaksana untuk mengundurkan diri. Harmoko didampingi 4 wakil ketua DPR/MPR: Syarwan Hamid, Ismael Hasan Metareum, Fatimah Achmad, dan Abdul Gafur.
Berikut isi pernyataan Harmoko sebagaimana dimuat oleh Majalah Panji Masyarakat, dan dimuat dalam buku Kronologi Situasi Penggulingan Soeharto:
Pimpinan Dewan dalam rapat pimpinan telah mempelajari dengan cermat dan sungguh-sungguh perkembangan dan situasi nasional yang sangat cepat yang menyangkut aspirasi masyarakat tentang reformasi, termasuk Sidang Umum MPR dan pengunduran diri Presiden. Untuk membahas masalah tersebut, besok pada 19 Mei 1998 pimpinan dewan akan melaksanakan pertemuan dengan pimpinan fraksi-fraksi, hasilnya akan disampaikan kepada Presiden Soeharto.
Mekanisme tersebut ditempuh sesuai peraturan tata-tertib Dewan karena dalam pengambilan keputusan pimpinan Dewan harus bersama-sama pimpinan fraksi-fraksi. Dalam menanggapi situasi tersebut di atas, pimpinan Dewan baik ketua maupun wakil ketua, mengharapkan demi persatuan dan kesatuan bangsa agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri.
Pimpinan Dewan menyerukan kepada seluruh masyarakat agar tetap tenang, menahan diri, menjaga persatuan dan kesatuan serta mewujudkan keamanan dan ketertiban supaya segala sesuatunya dapat berjalan secara konstitusional.
Penulis hadir dalam jumpa pers pimpinan DPR/MPR. Pernyataan itu cukup mengagetkan mengingat Harmoko dua bulan sebelumnya menyampaikan bahwa Soeharto masih didukung rakyat dan mendukung melanjutkan kekuasaan sebagai presiden. Abdul Gafur dikenal dekat dan menulis buku Soeharto. Yang tampak bersemangat adalah Syarwan Hamid yang notabene dari Fraksi ABRI. Bahkan di kalangan militer, tanda-tanda zaman menguat. Harus ada pergantian kepemimpinan untuk memulihkan stabilitas politik.
Jumpa pers pimpinan DPR/MPR cukup meredakan situasi demonstasi mahasiswa di gedung wakil rakyat itu. Sesudah jumpa pers, sejumlah bus mengangkut mahasiswa kembali ke kampus mereka. Seratusan mahasiswa tinggal bermalam di gedung DPR/MPR menuntut Sidang Istimewa untuk melengserkan Presiden. Syarwan Hamid mengizinkan mahasiswa menginap di gedung wakil rakyat.
Malam harinya, Jendral TNI Wiranto menyampaikan sikap ABRI terkait pernyataan pimpinan DPR/MPR agar Presiden mundur adalah pendapat individu meskipun disampaikan secara kolektif. “Sesuai dengan konstitusi, pendapat seperti itu tidak memiliki ketetapan hukum. Pendapat DPR harus diambil oleh seluruh anggota dewan melalui Sidang Paripurna DPR,” kata Wiranto, di Markas Besar ABRI di Jalan Merdeka Barat.
Menurut Wiranto, “ABRI masih berpendapat bahwa tugas dan kewajiban mendesak pemerintah yang menjadi tanggung jawab Presiden adalah melaksanakan reshuffle kabinet, melaksanakan reformasi secara menyeluruh, dan mengatasi krisis. Agar reformasi yang hendak dilakukan berjalan baik, ABRI menyarankan dibentuk Dewan Reformasi yang beranggotakan unsur pemerintah dan masyarakat, terutama kampus dan tokoh-tokoh kritis. Dewan ini akan berdampingan dengan DPR dan bekerjasama secara intensif.”
Malam itu juga, melalui Kepala Bakin Mutojib, Soeharto mengatakan akan menanggapi pernyataan pimpinan DPR/MPR keesokan harinya, pada 19 Mei 1998 – Rappler.com
No comments:
Post a Comment