Prabowo dan Kampung Janda
Hiruk pikuk jelang pemilihan presiden selalu menghadirkan cerita yang menarik, ada cerita kesuksesan para calon, ada juga cerita tentang masa kelam para calon di masa lalu. Semuanya demi mempengaruhi pendapat publik terhadap para calon yang akan dipilihnya nanti.
Kali ini isu tidak sedap menghampiri Prabowo Subianto. Kisah masa lalu beliau semasa bertugas di Timor Timur kembali diangkat dan dimuat dalam sebuah situs dimana artikelnya sangat menarik untuk dibaca karena menampilkan sisi lain dari Prabowo yang jarang diketahui oleh orang lain dan ditulis dengan sangat meyakinkan, walau demikian saya tidak tahu apakah cerita dalam artikel tersebut benar atau tidak.
Sayangnya baru tadi saya cek, artikel tersebut telah dihapus karena dianggap terlalu kontroversial. Tapi saya rasa masyarakat perlu membaca dan menilai sendiri, atau kalau perlu Prabowo harus mengklarifikasi kebenaran kisah ini. Karenanya artikel tersebut saya coba salin dan ditampilkan disini, berikut adalah artikelnya:
*maaf jika saya tidak minta ijin terlebih dahulu, jika pemilik artikel merasa keberatan maka artikel ini akan saya hapus.
Oleh: Matheos Viktor Messakh
Kraras, sebuah kampung di Timor-Leste disebut sebagai ‘kampung janda’. Satu saat di bulan September 1983 hampir semua laki-laki termasuk anak-anak laki di kampung itu dibunuh oleh tentara Indonesia. Beberapa orang melarikan diri ke hutan. Saat ditangkap atau menyerah mereka dipaksa tinggal di sebuah tempat di Kraras bernama Lalerek Mutin dimana banyak yang mati kelaparan. Lalu apa hubungannya kampung Kraras itu dengan Kapten Prabowo Subianto?
Menurut sejumlah sumber, Prabowo Subianto punya andil dalam pembunuhan-pembunuhan di bagian timur Timor-Leste termasuk pembunuhan membabi buta di Kraras itu. Menurut Mario Carrascalao, kejadian tragis pada tanggal 6 Agustus itu “dikoordinasi” oleh Prabowo.[1] Mario, yang waktu itu menjabat sebagai gubernur Timor-Timur, mengatakan ia tidak berada di Timor-Leste waktu itu, ia sedang berada di Jambi untuk melihat program transmigrasi. Namun Mario mengatakan bahwa semua kejadian itu dilaporkan oleh orang-orang Timor dan pihak militer kepadanya. Pada saat itu Komandan Kodim di Viqueque adalah Mayor Hidayat dari Kopassandha[sic*][2] yang kemudian menjadi Bupati Viqueque.
Prabowo datang untuk menemui para pejabat lokal. Selama gencatan senjata yang disepakati sebelumnya oleh Kolonel Purwanto dan Panglima Failintil Xanana Gusmao, Hidayat dan Sekwilda Viqueque Daniel memobilisasi para anggota Hansip untuk melakukan kontak dengan para anggota gerilya di hutan. Sementara itu, di kalangan para anggota Hansip orang Timor-Leste terjadi juga ketidakpuasan akibat reorganisasi pasukan-pasukan Hansip yang mengurangi status dan peran orang Timor.[3] Ketidakpuasan ini meluas di Timor-Leste termasu di Kraras yang merupakan sebuah pemukiman baru bagi orang-orang yang menyerah atau tertangkap tahun 1978-1979.
Pelecehan seksual sampai perkosaan
Pembunuhan-pembunuhan di Kraras dimulai asal usulnya dari perilaku seksual para tentara Indonesia. Menurut Mario Carrascalao dan sejumlah kesaksian pasca kemerdekaan Timor-Leste[4], ada seorang anggota Hansip berhasil melakukan kontak-kontak dan mendapat banyak teman di hutan. Anggota Hansip ini menikah dengan seorang perempuan cantik. Sang istri melapor ke suaminya bahwa ketika ia ke hutan untuk melakukan kontak dengan para gerilyawan di hutan, anggota militer Indonesia telah melecehkannya. Anggota Hansip inilah yang kemudian bereaksi dan memukuli anggota militer yang mengganggu istrinya.
Carrascalao mengatakan, menurut laporan yang sampai kepadanya, kejadian ini sudah diatur; semua diset-up untuk menciptakan insiden.[5] Sejumlah sumber lain juga mengatakan bahwa dalam bulan Juli 1983 tentara Indonesia melakukan sejumlah pelecehan seksual terhadap perempuan setempat, termasuk terhadap istri anggota Ratih yang disebutkan di atas.[6] Anggota Hansip yang memukuli tentara ini dibawa ke Viqueque.
Kira-kira setelah seminggu Mayor Hidayat, sang Komandan Kodim, berkata “Kamu tak membawa pakaian. Kamu tidak mengganti pakaianmu selama seminggu.” Sang anggota Hansip berkata ia ingin pulang ke Kraras untuk mengambil pakaian namun ia tak tahu apakah ia akan diperbolehkan pulang sendiri. Hidayat mengatakan ia mempercayai sang anggota Hansip, lalu ia diperbolehkan pulang ke Kraras. Ketika ia tiba di Kraras, istrinya berlari ke arahnya melaporkan bahwa ia telah diperkosa oleh beberapa tentara. Lalu anggota Hansip ini berlari ke hutan untuk melaporkan kepada teman-teman yang telah ia kenal selama masa gencatan senjata.[7]
Pada tanggal 8 Agustus, pasukan Falintil dan anggota-anggota Ratih di bawah komando Virgílio dos Anjos (Ular Rheik) menyerang desa Kraras, menewaskan 15 atau 16 orang anggota batalyon zeni tempur (zipur) yang sedang mempersiapkan warga desa untuk sebuah pertunjukkan pada tanggal 17 Agustus.[8] Salah seorang anggota zipur sedang berada di atap sebuah rumah sehingga ia selamat. Ia kemudian melaporkan serangan ini kepada komandan batalyon 501. Reaksi Pasukan Indonesia selanjutnya bisa ditebak.
Penduduk sipil jadi sasaran
Pada tanggal 7 September 1983, batalyon 501 memasuki desa Kraras yang sudah kosong dan membakar hampir semua rumah di sana. Sekitar 4 atau 5 orang yang masih tinggal di desa, termasuk seorang perempuan tua, dibunuh dalam serangan ini. Mayat dari beberapa orang yang dibunuh dibakar bersama rumah-rumah mereka. [9]
Sebelum pasukan Indonesia tiba, sebagian besar penduduk Kraras dan kampung-kampung sekitarnya telah melarikan diri ke hutan. Sebuah kelompok Ratih yang lain dari desa Buanurak (Ossu, Viqueque) yang dipimpin oleh Domingos Raul (Falur) juga membelot dari pasukan Indonesia untuk bergabung dengan Falintil.
Dalam minggu-minggu selanjutnya setelah serangan tentara Indonesia ke Kraras, mereka mengadakan patroli di pegunungan sekitar dan memaksa orang-orang yang melarikan diri untuk kembali ke desa Kraras dan Buikaren, serta ke kota Viqueque. Sejumlah orang dieksekusi dalam operasi-operasi ini, termasuk seorang anak laki-laki berusia 15 tahun pada atau sekitar tanggal 12 September, dan tiga orang lainnya pada tanggal 15 September.[10] Sejumlah besar orang juga ditahan dan disiksa, kebanyakan di Olobai, dimana satu kompi dari Batalyon 745 bermarkas.
Di desa Caraubalau pembantaianpun terjadi. Sejumlah besar penduduk Kraras yang lari ke Bibileo ditangkap dan dibawa ke Viqueque. Awalnya mereka ditempatkan di sebuah gedung sekolah di Beloi, namun pada tanggal 16 September 1983 tentara Indonesia dan para anggota Hansip memindahkan sekurang-kurangnya 18 orang, termasuk perempuan dan anak-anak, ke desa Caraubalau. Mereka diduga diserahkan kepada tentara Indonesia dari kesatuan lain, kemudian dibawa ke satu tempat bernama Welamo dimana mereka diperintahkan berdiri di satu lubang yang terbentuk karena tanah longsor dan dieksekusi di sana.[11] Seorang saksi mata mengatakan kepada para penyelidik dari PBB:
“Tiga orang Hansip berjalan di depan dan anggota tentara mengelilingi kelompok orang sehingga tidak satu orang pun bisa melarikan diri…Kami mulai berjalan sekitar pukul 3 sore dan tiba di satu tempat di gunung sekitar pukul 4 sore…Kami duduk dan tentara mengelilingi kami supaya tidak ada yang lari…Kemudian datang tentara Indonesia lagi…Setelah mereka tiba kami diperintahkan berdiri. Saya bersama semua orang yang lain berdiri menghadap lembah. Kemudian kami disuruh berjalan. Saya baru berjalan satu langkah, tentara Indonesia melepaskan tembakan ke arah kami. Saya bersama saudara saya jatuh ke tanah. Orang-orang yang terkena tembakan jatuh di atas badan saya. Tentara Indonesia menembak semua orang dari belakang. Kemudian tembakan berhenti dantentara beristirahat dan merokok. Satu orang tentara Indonesia menyuruh Jerónimo [seorang komandan Hansip] berbicara dengan bahasa Tetun untuk menyuruh yang masih hidup…berdiri…Tidak ada yang menjawab perintah ini. Kemudian tentara menembak lagi mayat-mayat yang tergeletak. Kemudian saya mendengar dua anak kecil. Ketika tentara menembak, mereka tidak kena. Kemudian Jerónimo…mendekat dua bayi itu dan mengambil sebilah pisau menikamkan sampai mereka mati. Kemudian [tentara] Indonesia dan Hansip beristirahat dan merokok lagi.”[12]
Untuk kejadian di Caraubalau ini, CAVR memperkirakan jumlah korban serendah-rendahnya 17 dan setinggi-tingginya 54. [13] Keesokan harinya juga terjadi pembunuhan massal di sebuah tempat bernama Tahubein. Sekelompok pengungsi Kraras yang ditangkap di dekat desa Buikarin. Para perempuan dipisahkan dari laki-laki dan para laki-laki diperintahkan kembali Kraras untuk mengangkut makanan dibawah pengawasan militer. Menurut satu laporan, 6-8 orang tentara Indonesia dan dua orang Hansip Timor-Leste mengawal sejumlah laki-laki menuju Sungai Wetuku ke satu tempat yang dikenal sebagai Tahubein. Di sana mereka dikepung dan ditembaki. Hanya satu orang yang dilaporkan selamat dari pembantaian ini. Seorang narasumber memberikan uraian berikut ini:
“Semua laki-laki disuruh berbaris dari Buikarin. Pasukan ABRI bersama Hansip mengatakan kepada kami, ‘Kalian laki-laki hari ini kembali ke Kraras untuk mengambil bahan makanan.’ Maka berangkatlah kami ke arah Kraras lewat daerah Tahubein. Kami dikawal oleh Hansip, polisi, Kodim, dan pasukan lainnya dari Batalyon 501. Sampai di daerah Tahubein pasukan meminta kepada kami agar menyanyikan lagu Foho Ramelau. Tetap tidak ada orang yang berani menyanyikan lagu tersebut. Kemudian mereka menyuruh kami untuk menghitung satu, dua, tiga. Sampai pada hitungan ketiga kami langsung dikejutkan dengan suara tembakan. Ketika suara tembakan saya langsung menjatuhkan diri terlebih dahulu. Begitu saya jatuh temanteman lainnya jatuh di atas saya. Badan saya penuh berlumuran darah. Setelah selesai menembak mereka periksa satu per satu. Apakah yakin sudah meninggal semua atau belum. Saya mendengar suara dari Hansip mengatakan, ‘Kalau ada yang masih hidup, berdirilah dan pergi bersama kami.’ Saya mendengar itu, tetap saja tidak mau bergerak. Kemudian saya merasa bahwa dua orang teman saya berdiri dan seketika itu juga mereka langsung ditembak. Setelah itu pasukan pergi. Saya merasa yakin bahwa setelah pasukan sudah tidak ada baru saya bangun, kemudian melarikan diri ke hutan.”[14]
Laporan tentang jumlah korban jiwa di Tahubein berbeda-beda, mulai dari yang terendah 26 sampai yang tertinggi 181. Militer Indonesia mengakui jumlah korban 80 orang.[15]Pada tahun 1985, Uskup Belo mendaftar nama 84 korban mati.[16] CAVR mendapatkan nama 141 korban, semuanya laki-laki.[17] Orang-orang yang selamat dipaksa tinggal di Lalerek Mutin, dimana diperkirakan sebagian besar orang meninggal akibat kelaparan dan penyakit.[18] Dominggus Rangel mengatakan kepada CAVR bagaimana orang yang ditangkap disiksa dan kemudian ditempatkan di Lalerek Mutin dan dibiarkan mati: “Saya ingat empat atau lima orang meninggal setiap hari. Kami hanya membungkus mereka dalam tikar dan mengubur mereka.”[19] Sampai saat ini, Kraras dikenal sebagai ‘desa para janda’.[20]
Selain pembantaian di Caraubalau dan Tahubein, ada sejumlah pembunuhan yang berlangsung pasca serangan Falintil ini, bahkan pembunuhan-pembunuhanini tidak saja terjadi di Viqueque di mana desa Kraras berada namun meluas ke semua bagian timur Timor-Leste.[21]
Sangat disayangkan sumber Indonesia tentang pembantaian di Kraras ini tidak menyebutkan sedikitpun tentang korban dan penderitaan di kalangan penduduk sipil. Tidak mengherankan karena sumber tentang pembantaian ini adalah sumber militer dan tentu saja mencerminkan cara berpikir militer Indonesia. Letjen (purn.) Kiki Syahnarki hanya menyatakan Kolonel Purwanto sangat menyesalkan serangan ini dan bahwa Xanana mengaku tidak terlibat dalam penyerangan itu. Seperti biasa, Syahnarki juga menyalahkan pihak asing yang katanya telah menyusup ke Fretilin dan mengganggu proses perdamaian.[22] Tidak disebutkan sedikitpun tentang aksi balas dendam yang menyasar penduduk sipil.
Versi Mario Carrascalao
Menurut Mario Carrascalao Prabowo ditugaskan kembali ke Timor-Timur pada bulan September setelah serangan Falintil di Kraras, namun menurut sebuah sumber lain yang dikutip dalam wawancara dengan Mario, Prabowo kembali ke Timor pada 28 Agustus 1983.
“Orang-orang tahu bahwa ia dekat dengan Presiden Suharto dan beberapa orang lain dan bahwa ia dipercayai oleh mereka. Prabowo mengirim sebuah memo kepada para anggota militer [untuk mengatasi situasi ini]. Namun ketika kira-kira 200 warga desa [Kraras] keluar dari hutan, tentara Indonesia memisahkan 30 anak-anak dan membunuh mereka. Begitulah laporan orang-orang,” kata Mario Carrascalao.
“Hari itu juga Kolonel Rudjito [yang baru saja menggantikan Kolonel Purwanto sebagai Panglima Korem Timor-Timur] mengatakan kepada saya ‘semua warga desa Kraras telah keluar dari hutan, sehingga saya akan merelokasi mereka ke tempat bernama Lereng Mutin, dekat pantai.’ Saya berkata ‘Panglima, mereka pasti butuh makanan. Saya punya puluhan ton jagung yang disimpan di Viqueque untuk keadaan darurat. Jika anda mau, anda bisa menggunakannya untuk memberi makan orang-orang. Silahkan.’ Ia berkata tidak. ‘Tidak, saya tidak membutuhkannya. Kita harus membuktikan kepada mereka bahwa apa yang anda [Gubernur Carrascalao] katakan kepada mereka tentang gencatan senjata adalah omong kosong.’ Saya menjawab, ‘justru sebaliknya. Jika anda memberi mereka makan, merawat mereka, memperlakukan mereka secara baik, mereka mungkin akan menjadi dekat dengan anda. Tapi jika anda tidak…’’ jelas Carrascalao.
Segera setelah kejadian itu Uskup Belo mengungjungi Viqueque. Ketika ia kembali ke Dili, ia bertemu Mario Carrascalao dan berkata “Pak Mario, saya akan mengatakan sesuatu kepada anda yang mungkin tak akan anda percayai. Saya pergi ke Lereng Mutin. Tak ada satu laki-lakipun. Hanya perempuan dan anak-anak. Rumah-rumahpun tidak ada. Ketika para tentara membawa mereka ke Lereng Mutin, para tentara mengambil semua harta milik mereka. Mereka tak punya rumah-mereka tinggal di sebuah lapangan. Mereka membunuh semua laki-laki dewasa, semuanya. Ada beberapa yang lari ke hutan. Dan semuanya dikuburkan dekat sungai Luca.”
Mario mengatakan bahwa sopir bulldozer yang menggali kuburan massal bernama Asal. Ia pernah bekerja sebagai mekanik di departemen Kehutanan dimana Mario adalah atasannya. “Jadi saya mencarinya,” Kata Mario. “Tapi rupanya setelah ia menggali kuburan massal, para tentara membunuhnya juga, tetapi mereka mengatakan Fretelinlah yang melakukannya. Orang-orang Fretilin mengatakan lebih dari seribu orang dikubur di pinggiran kali Luca. Yang lain mengatakan ratusan orang hilang. Saya berkunjung ke sana. Ketika saya tiba hanya ada perempuan. Tidak ada laki-laki. Hanya perempuan dan anak-anak. Dan anak-anak ini berusia tiga atau empat tahun. Tak ada anak-anak yang lebih tua. Mereka semua mengenakan pakaian hitam.”
Mario marah dan menulis surat kepada sang komandan. “Anda membunuh semua laki-laki. Juga membunuh anak-anak besar. Ini tidak benar.” Mario menerima sebuah surat balasan dari Zacky Anwar [Makarim], yang menurut Mario masih ia simpan sampai sekarang. Menurut Mario, Zacky Anwar adalah kepala, atau mungkin wakil kepala Intel di Timor-Timur. [23] “Ia menulis surat yang benar-benar mengatakan bahwa anak buahnya menembak [para warga desa]. Ia meminta maaf. Saya bilang jangan minta maaf kepada saya. Minta maaf kepada pihak keluarga. Itulah pertama kalinya seseorang dari kalangan militer meminta maaf.”
Ketika pembantain Kraras terjadi, Prabowo ditugaskan untuk ketiga kalinya di Timor-Timur.[24] Apakah ada hubungan yang kuat antara kehadiran misterius Prabowo di bagian timur Timor-Leste dan pembunuhan-pembunuhan yang meningkat pada saat itu, tidak ada yang bisa memberi bukti pasti. Namun CAVR mendapat kesaksian-kesaksian tentang keterlibatan berbagai kesatuan ABRI dalam pembantaian ini, termasuk Kodim 1630/Viqueque, Yonif 328, Yonif 501, dan Yonif 745, serta Komando Pasukan Sandhi Yudha (Kopassandha). [Lihat Chega! Bab. 7.2. hal. 107].
Beberapa sumber juga menyatakan kepada CAVR bahwa Prabowo terlibat dalam operasi untuk membawa penduduk sipil turun dari Gunung Bibeleu, dimana tidak lama kemudian beberapa ratus orang dibunuh tentara Indonesia. CAVR juga menerima bukti keterlibatan Kopassus [sic] dalam pembunuhan-pembunuhan ini [lihat Chega! Bab 3. Sejarah Konflik, hal. 109].
Dari pihak Indonesia sendiri, Carrascalao dan bahkan Kolonel Purwanto mengkhawatirkan tindak-tanduk Prabowo saat itu. CAVR sendiri mensinyalir bahwa kemungkinan tindakan-tindakan pembunuhan itu dilakukan sebagai upaya untuk mensabotase terhadap gencatan senjata yang disepakati sebelumnya.[25] Apalagi pihak militer Indonesia pernah menyatakan pernah menyatakan sebelumnya bahwa mereka menganggap operasi-operasi di Timor-Leste sebagai sarana latihan yang berharga bagi pasukan-pasukannya.[26]
Sesaat sebelum digantikan oleh Kolonel Rudjito sebagai Komandan Korem Dili, Kolonel Purwanto pernah mengeluh kepada Mario Carrascalao tentang tindak-tanduk Prabowo:[27]Dalam Timor Timur yang dinyatakan tertutup saat itu, tak seorangpun baik sipil ataupun militer yang boleh masuk atau meninggalkan Timor tanpa sepengetahuan Purwanto. Purwanto berkata kepada Carrascalao dalam sebuah kesempatan:
“Apa yang saya takutkan terjadi. Ia kembali ke Timor Timur – Prabowo. Ternyata ia datang, dan pergi ke pedalaman. Ke Viqueque, sekitar Bibileo. Saya tidak tahu apa yang ia lakukan. Saya tidak tahu lagi.”[28]
Menurut Mario, Prabowo “berpikir baik selama penugasan pertama dan kedua. Saya tak tahu apa yang terjadi, tapi setelah itu ia kehilangan kontrol.”
Akhirnya, bagaimanapun, sumber-sumber yang mengklaim keterlibatan Prabowo dalam peristiwa di Kraras dan Lalerek Mutin kebanyakan adalah sumber-sumber lawan Prabowo atau yang kemudian menjadi lawan, kecuali testymony para survivor yang dalam konteks pelanggaran hak asasi di manapun harus dipertimbangkan. Karena itu, apa yang sebenarnya terjadi di Karas dan Lalerek Mutin mungkin hanya bisa dijawab oleh pak Prabowo sendiri. [S]
Referensi:
- Ben Anderson, Arief Djati, dan Douglas Kammen, “Interview with Mário Carrascalão,” Indonesia, No. 76, Oktober 2003. Serangan pasukan gabungan Falintil-Ratih terhadap annggota batalyon zeni tempur di Kraras, Bibileo terjadi pada 16 Agustus (bukan 6 Agustus). Lihat Jill Jolliffe, Cover-Up: The Inside Story of the Balibo Five (Melbourne: Scribe Publications, 2001), untuk penjelasan lengkap tentang pembantaian ini.
- Di tahun 1975, RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) telah menjadi Kopassandha (Komando Pasukan Sandhi Yudha, Kopassandha), namun masih sering disebut dengan nama lama. Di tahun 1985 Kopassandha menjadi Komando Pasukan Khusus (Kopassus).
- Chega! Bab 3. Sejarah Konflik. Hal. 110.
- Tulisan ini didasarkan kepada sejumlah kesaksian kepada Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi (di kenal dengan akronim Portugis, CAVR) yang tertuang dalam laporan Chega!, dan kesaksian kepada Serius Crime Unit.
- Ben Anderson et.al., “Interview with Mário Carrascalão,” Indonesia, No. 76, Oktober 2003.
- Wawancara CAVR dengan Silvino das Dores Soares, Viqueque, 10 Maret 2004; wawancara CAVR dengan Geronimo da Costa Amaral, Viqueque, 10 Maret 2004.
- Ben Anderson et.al.,“Interview with Mário Carrascalão,” Indonesia, No. 76, Oktober 2003.
- CAVR menyebut 14 korban jiwa dan satu atau dua orang melarikan diri. Untuk informasi mengenai serangan yang dilakukan kelompok Ular Rheik lihat wawancara dengan Ular Rheik [sic] di http://indigenouspeoplesissues.com/index.php?option=com_content&view=article&id=3557 [access 15 Maret 2014]
- Wawancara CAVR dengan Silvino das Dores Soares, Viqueque, 10 Maret 2004
- Ibid.
- Wawancara CAVR dengan Jerónimo da Costa Amaral, Viqueque, 10 Maret 2004.
- Serious Crimes Unit, Wawancara dengan José da Costa Carvalho.
- Keterangan ini didasarkan pada Wawancara Serious Crimes Unit dengan José da Costa Carvalho; lihat pula Wawancara CAVR dengan Jeróonimo da Costa Amaral, Viqueque, 10 Maret 2004, yang mengatakan bahwa korbannya 18 orang; Filomena de Jesus Sousa, Lalerek Mutin, Viqueque, 10 Maret 2004, yang mengatakan bahwa korbannya 26 orang; dan Silvino das Dores Soares, Viqueque, 10 Maret 2004, yang mengatakan bahwa korbannya 54 orang.
- Wawancara CAVR dengan Olinda Pinto Martins, Lalerek Mutin, Viqueque, 8 November 2003; lihat juga Wawancara Serious Crimes Unit dengan Jacinto Gomes (Leki Rubi), Viqueque (Viqueque), 11 April 2001, dan Antonio Soares (Toni Rubik), Viqueque (Viqueque), 11 April 2001.
- Timor Information Service, Gough Whitlam Fails to Convince, Maret/April 1982, hal. 10.
- “Uskup Timor Menuduh Militer Membantai 84 Penduduk Desa”, Peter Millership, Reuters, Dili, 1 Maret 1984, disebutkan dalam John G. Taylor, East Timor: The Price of Freedom, Zed Books, London, 1991, hal. 147.
- Chega! Bab.7.2 hal. 180-1.
- Wawancara CAVR dengan José Gomes, Kepala Desa Bibileo-Lalerek Mutin [wawancara tidak bertanggal].
- Pernyataan HRVD 04118. Tentang kondisi Lalerek Mutin pasca peristiwa Kraras lihat Chega! Bab 7.3. Pemindahan Paksa dan Kelaparan, khusunya hal. 111-3.
- Lihat juga Olinda Pinto Martins, kesaksian pada Audensi Publik Nasional CAVR tentang Pembantaian , Nopember 2003.
- Untuk detil tentang kejadian-kejadian dan korban pembunuhan-pembunuhan mulai tahun 1983-1984 lihat Chega! Bab 7.2. Pembunuhan di luar hukum dan Penghilangan Paksa, hal. 176-208.
- Kiki Syahnarki, Timor-Timur The Untold Story, Jakarta: Kompas, hal. 110-115.
- Di tahun 1999, Mayor Jendral Zacky Anwar Makarim menangani pengorganisasian milisi pro-Jakarta di Timor-Leste. Pada 24 Februari 2003, Wakil Jaksa Penuntut Umum untuk Kejahatan Serius mengajukan dakwaan terhadap Anwar Makarim dan tujuh orang lainnya (enam dari militer) yang dituduh melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan.
- Setelah menyelesaikan sebuah kursus anti-teroris di Jerman, pada Maret 1982 Mayor Luhut Pandjaitan dan Kapten Prabowo Subianto ditunjuk untuk membentuk sebuah unit anti-teroris dari Kopassandha, yang diberi nama Detasement 81. Pada bulan Oktober 1982 Luhut mengikuti kursus komando dan staff, meninggalkan Kapten Prabowo menangani Detasement 81. Di bulan November 1982, Prabowo mempimpin unit ini ke sebuah operasi di wilayah Papua New Guinea. Kemunculannya di Viqueque dengan demikian dihubungkan dengan operasi kedua dari detasemen ini. Versi lain yang tidak menyebutkan kemunculan Prabowo di Viqueque di akhir Maret atau awal April, lihat Ken Conboy, Kopassus: Inside Indonesia’s Special forces (Jakarta: Equinox Publishing, 2003),h. 289-297.
- Chega! Bab 3. Sejarah Konflik, hal. 108-9.
- Lihat Ken Conboy, Kopassus: Inside Indonesia’s Special Forces, Equinox Publishing, Jakarta dan Singapura, 2002 hal. 310.
- Menurut Mario pembicaraan dengan Purwanto terjadi delapan hari setelah pertemuan Mario Carrascalao dengan Jendral Beny Moerdani di Baucau pada 21 April 1983. Lihat “Interview with Mário Carrascalão,” Indonesia, No. 76, Oktober 2003.
- Ben Anderson et.al.,“Interview with Mário Carrascalão,” Indonesia, No. 76, Oktober 2003.
No comments:
Post a Comment