Deretan kisah paling tragis bocah yang dipaksa kawin muda
Reporter : Ira Astiana | Selasa, 18 Oktober 2016 06:06
Merdeka.com - Anak-anak adalah harta paling berharga bagi setiap orang tua. Apapun dilakukan oleh orang tua agar anak-anaknya bisa mendapatkan pendidikan terbaik, hidup layak, dan tidak kurang suatu apapun. Namun, bukannya mendapatkan hal yang sudah sepatutnya diperoleh, anak-anak di negara ini justru dipaksa kawin muda dengan berbagai alasan.
Penelitian organisasi 'Save the Children' melaporkan setidaknya satu anak di bawah lima belas tahun menikah setiap tujuh detik. Anak-anak tersebut dipaksa kawin sedini mungkin dengan laki-laki yang jauh lebih tua. Tren ini paling banyak terjadi di Afghanistan, Yaman, India, dan Somalia.
Menurut organisasi ini, faktor yang menyebabkan pernikahan anak di bawah umur adalah konflik sosial, kemiskinan, dan krisis kemanusiaan. Jika tradisi menikah muda terus dipertahankan, dapat memicu siklus kemunduran kualitas hidup seorang perempuan.
"Pernikahan anak di bawah umur akan memulai siklus kemunduran bagi perempuan seperti kemunduran dalam mendapatkan hak untuk belajar, berkembang, dan menjadi anak-anak seperti pada umumnya," ujar Helle Thorning-Schmidt, CEO Save the Children International, dilansir dari laman BBC, Selasa (11/10).
Gadis-gadis yang menikah terlalu dini tidak bisa sering ke sekolah dan cenderung berpeluang menghadapi kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan, dan pemerkosaan.
Berikut ini adalah deretan kisah tragis bocah dari berbagai negara yang dipaksa kawin di bawah umur:
sumber: https://www.merdeka.com/dunia/deretan-kisah-paling-tragis-bocah-yang-dipaksa-kawin-muda.html
1.
Kakek uzur asal Saudi kawini gadis 15 tahun
Merdeka.com - Perkawinan terjadi di Arab Saudi ini menimbulkan kecaman dari kelompok pembela hak asasi manusia dan pegiat di media sosial. Pasalnya, pernikahan itu terjadi antara gadis 15 tahun dengan pria yang pantas disebut kakeknya, berusia 90 tahun.
Stasiun televisi Al Arabiya melaporkan, Senin (7/1/2013), dalam sebuah wawancara dengan media lokal, pengantin laki-laki tidak disebutkan namanya itu mengatakan dia merasa pernikahan itu sudah sesuai hukum. Dia menyebut telah membayar Rp 167 juta sebagai mas kawin untuk menikahi gadis itu.
Lelaki itu juga sempat menceritakan pengalaman tidak menyenangkan dirasakan dia saat melewati malam pertama dengan gadis belia itu. Dia mengatakan ketika itu istrinya lebih dulu masuk ke kamar sebelum dia dan mengunci kamar dari dalam sehingga dia tidak bisa masuk.
Kejadian ini justru membuat dia berpikir ada persengkongkolan antara gadis itu dan ibunya. Alhasil, dia berjanji akan menuntut mertuanya itu jika tidak mengembalikan istrinya atau menyerahkan kembali mas kawin sudah dia diberikan.
Seorang teman dekat keluarga pengantin perempuan tidak disebutkan identitasnya mengatakan gadis itu merasa ketakutan saat malam pertama. "Itu sebabnya dia mengunci pintu kamar selama dua hari sebelum akhirnya kembali ke rumah orang tuanya."
Anggota Asosiasi Hak Asasi Manusia Arab Saudi (NSHR), Suhaila Zein el-Abidin, meminta agar pihak keamanan turut menangani kasus ini secepat mungkin agar dapat menyelamatkan gadis itu dari hal-hal tidak diinginkan.
Suhaila mengatakan Islam menginginkan agar institusi perkawinan didasarkan pada persetujuan di antara kedua pihak. Dia menyebut kasus ini menunjukkan mempelai perempuan tidak setuju dengan perkawinan itu yang diperlihatkan dia saat mengunci kamar.
Dia mengatakan orang tua gadis itu juga harus bertanggung jawab atas pernikahan terjadi terhadap anak perempuannya dengan lelaki pantas disebut sebagai kakeknya. Dia juga meminta agar Saudi membuat aturan batas minimun pernikahan bagi perempuan yakni 18 tahun.
2.
Gadis enam tahun di India dipaksa kawini anak pemerkosanya
Merdeka.com - Kisah lain berasal dari seorang gadis enam tahun di India yang diperkosa setelah dikunci di dalam sebuah kamar oleh lelaki 40 tahun. Bocah itu lalu dipaksa untuk menikahi anak si pemerkosa dia.
Korban, yang tinggal di Desa Keshavpura, Negara Bagian Rajasthan, diduga diserang terlebih dulu sekitar dua pekan lalu, seperti dilansir surat kabar the Daily Mail, Kamis (5/9/2013).
Tapi bukannya melapor ke polisi, keluarga korban justru mengeluhkan masalah ini kepada dewan sesepuh yang kemudian mengadakan sebuah pertemuan untuk memutuskan apa yang harus diambil terhadap kasus pemerkosaan ini.
Namun yang mengherankan, dewan sesepuh itu kemudian memberitahu orang tua korban bahwa putri mereka harus menikah dengan anak penyerangnya yang berusia delapan tahun.
Keluarga korban dikabarkan menolak untuk menerima keputusan para sesepuh itu.
Dalam kasus pemerkosaan terbaru di Keshavpura ini polisi baru terlibat setelah pegiat sosial membawa korban dan orang tuanya ke kantor polisi di Kota Mahaveer Nagar untuk melaporkan masalah itu.
Pelaku pemerkosaan telah ditangkap dan penyelidikan juga dilakukan terhadap tuduhan dari dewan sesepuh itu.
"Pelaku mengurung korban di kamar dan memperkosanya. Alih-alih melapor ke polisi, para sesepuh dari kasta gadis itu menyerukan agar diadakan sebuah rapat dewan desa," kata seorang juru bicara polisi.
Rajasthan merupakan salah satu negara bagian paling konservatif di India, di mana pernikahan anak-anak relatif masih sering terjadi.
3.
Tak mau menikah muda, gadis ini didenda Rp 326 juta
Merdeka.com - Sungguh malang nasib Santadevi Meghwal, gadis 19 tahun asal desa terpencil Rochihan Khurd di Negara Bagian Rajashtan, India. Keluarganya didenda dewan adat setempat sebesar 1,6 juta Rupee (setara Rp 326 juta) lantaran menolak menikah muda. Meghwal dan keluarganya dianggap melanggar adat lantaran membatalkan pernikahan yang sudah diatur sejak gadis itu masih bayi.
Dilansir Emirates247, Minggu (17/5/2015), Meghwal sudah dinikahkan sejak umur 11 bulan dengan bayi lelaki dari desa yang sama. Sampai akil baligh, pernikahan ini tak pernah diceritakan padanya.
Barulah ketika Meghwal ingin kuliah, ayah dan ibunya menceritakan pernikahan dini tersebut. "Saya tidak mau menikah, saya ingin jadi guru," ujarnya saat diwawancara Stasiun Televisi CNN-IBN.
Luluh mendengar keinginan putrinya, Padmaram sempat membujuk keluarga besannya membatalkan pernikahan tersebut. Tapi keluarga Meghwal dianggap merusak tatanan. Bahkan warga satu kampung sepakat memberi denda mahal pada keluarga malang miskin.
"Warga desa terus mendesak agar putri kami menikah," kata Padmaram.
Beruntung, isu ini menyebar ke seluruh India. Sebuah LSM bernama Sarathi Trust, kini telah mendampingi keluarga Meghwal. Para pegiat pun akan balik menggugat Dewan Adat Rochihan karena memaksakan pernikahan dini.
4.
Dipaksa kawin, gadis Iran divonis mati sebab bunuh suaminya
Merdeka.com - Razieh Ebrahimi dipaksa menikah pada usia 14 tahun, menjadi seorang ibu di umur 15 tahun, dan membunuh suaminya saat usianya masih 17 tahun. Sekarang di umurnya yang baru 21 tahun, dia menghadapi hukuman mati di Iran.
Ebrahimi, yang menembak mati suaminya ketika sedang tidur, bakal menghadapi hukuman mati, meskipun hukum internasional melarang eksekusi untuk kejahatan dilakukan oleh remaja, seperti dilansir surat kabar the Guardian, Jumat (20/6/2015).
Organisasi nirlaba Human Rights Watch, mendesak pengadilan Iran untuk menghentikan eksekusi. Pengacara Ebrahimi juga meminta hakim untuk mempertimbangkan pengadilan ulang, seperti dilaporkan kantor berita semi resmi Mehr.
"Saya menikah dengan anak tetangga kami ketika saya baru 14 tahun sebab ayah saya bersikeras," kata Ebrahimi, seperti dikutip pejabat yang bekerja pada kasusnya, seperti dikutip Mehr.
"Ayah saya bersikeras bahwa saya harus menikah dengan anak tetangga kami itu sebab dia berpendidikan dan bekerja sebagai guru. Saya berusia 15 tahun ketika saya melahirkan," ujar Ebrahimi. Anaknya diyakini kini sudah berusia enam tahun.
"Saya tidak tahu siapa saya atau apa arti hidup semua ini," ujar dia setelah ditangkap. "Suami saya menganiaya saya. Dia menggunakan alasan apapun untuk menghina saya, bahkan menyerang saya secara fisik."
Ebrahimi mengakui telah membunuh suaminya dengan pistolnya sendiri sebelum menguburnya di kebun. Ebrahimi awalnya mengatakan kepada polisi suaminya hilang, tapi ayahnya sendiri menemukan mayat suaminya itu dan menyerahkan dia ke polisi.
Iran merupakan negara penandatangan Perjanjian Internasional untuk Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang melarang hukuman mati bagi narapidana jika tindakan kejahatan mereka dilakukan saat mereka masih di bawah usia 18 tahun.
Human Rights Watch menyerukan kepada peradilan, yang independen dari pemerintah Iran, untuk membalikkan keputusan itu.
"Setiap kali seorang hakim Iran mengeluarkan hukuman mati bagi anak-anak pelaku kejatahan seperti Ebrahimi, dia harus ingat dia secara terang-terangan melanggar tanggung jawab hukum untuk menegakkan keadilan secara adil dan merata," kata Joe Stork dari Human Rights Watch.
Walaupun hukuman mati terhadap Ebrahimi dijatuhkan oleh hakim, namun keluarga korban sampai menit terakhir tidak mengampuni dia, keputusan yang sejauh ini ditolak. Berdasarkan hukum Iran, keluarga korban memiliki kata akhir atas hukuman mati.
No comments:
Post a Comment