ANDAI SOEHARTO MELAWAN…
1998, saya masih mahasiswa. Sejarah membawa saya turut terbawa dalam arusnya. Sejak masuk menjadi mahasiswa Universitas Indonesia di tahun 1994, saya telah merasa bahwa Pemilu 1997 akan menjadi titik penting bagi bangsa. Ternyata segalanya terjadi lebih cepat dari perkiraan. 1996, tanpa ada berita menderita sakit, tiba-tiba Ibu Negara Hajjah Fatimah Siti Hartinah Soeharto wafat. Ada banyak rumor soal musabab meninggalnya beliau. Ada yang bilang beliau ditembak anaknya sendiri, dan ada pula yang mengatakan beliau sakit nelangsa (bahasa Jawa: sedih yang sangat) karena kiprah anaknya. Toh tidak ada penjelasan resmi soal kebenaran rumor itu. Negara mengadakan upacara penghormatan yang dipimpin langsung oleh Presiden Soeharto, sang suami sendiri.
Tak lama meletus “Kudatuli”-Kerusuhan Dua Tujuh Juli 1996. Ini adalah istilah yang saya ciptakan dan dipakai pertama kali di tabloid Swadesi tempat saya bekerja. Istilah ini kemudian luas dipakai berbagai kalangan yang menganggap peristiwa kerusuhan di tanggal tersebut terpisah dari penyerbuan kantor DPP PDI yang dikuasai massa pro-Mega oleh massa pro-Kongres pimpinan Soerjadi. Sementara mereka yang pro-Mega cenderung menganggap peristiwa kerusuhan dan penyerbuan kantor DPP PDI adalah satu paket. Oleh karena itu istilah “Sabtu Kelabu” mereka perkenalkan. Tak soal mana yang lebih luas dipakai, namun kejadian tersebut kemudian menjadi bumerang bagi rezim Soeharto. Tak lama setelahnya, gerakan pro-demokrasi menguat. Soeharto yang otoriter terdesak. Kemungkinan tanpa sepengetahuannya, terjadi penculikan para aktivis.
Pemilu 1997 berlangsung, dan Golkar kembali menang mutlak. Merasa kekuasaannya tak tergoyahkan, Soeharto mulai menjalankan skenario suksesi kepada putri sulungnya: Siti Hardiyanti Hastuti. Ia diangkat sebagai Menteri Sosial Kabinet Pembangunan VII. Mengabaikan rasa tidak puas di kelas menengah yang menguat semenjak Indonesia terimbas krisis ekonomi-moneter global, Soeharto malah memilih untuk meneruskan kekuasaannya.
Di saat kabinet dilantik seusai Sidang Umum Maret 1998, aksi-aksi mahasiswa makin memanas. Usai Malari 15 Januari 1974 dan Gerakan Anti Kebodohan 1978, kampus dibungkam dengan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus). Tak diduga, generas yang kenyang ini malah menyuarakan ketidakpuasan terhadap rezim.
Bahkan saat aksi dimulai, kami masih tidak yakin pada kekuatan kami. Ya, ada bantuan dari berbagai pihak. Kami bertemu dengan individu-individu berkebangsaan asing yang menyatakan dukungan. Tapi hitungan kami, bila aksi dilakukan marathon, kekuatan mahasiswa hanya akan tahan hingga akhir tahun. Itu pun kalau beruntung Soeharto tidak keras.
Keberuntungan mulai kami rasakan pasca tertembaknya “Pahlawan Reformasi” dari Universitas Trisakti yang disusul dengan kerusuhan massal 13-14 Mei 1998. Sebagai gambaran, saat Mayor Jenderal TNI Syafrie Syamsuddin yang waktu itu Pangdam Jaya berkeliling kota dengan 6 panser tanggal 15 Mei 1998, di kampus UI Salemba hanya ada empat orang mahasiswa termasuk saya yang berjaga! Bila itu tahun 1966, pasti kami sudah habis!
Keberuntungan ini kami rasakan pula saat ‘menduduki’ gedung MPR/DPR mulai 18 Mei 1998. Mahasiswa UI yang berjumlah paling besar terlambat datang karena masalah internal: para pimpinan mahasiswa takut pada tanggung-jawab atas keselamatan mahasiswa. Dan saya melihat sendiri betapa para penjaga gedung dari berbagai kesatuan ABRI (waktu itu TNI-Polri belum dipisah) sengaja menyingkir. Barikade kawat berduri dibuka.
Begitu masuk gedung DPR/MPR, kami memantau ormas-ormas underbouw Golkar yang jelas pendukung Soeharto sudah mengepung Senayan. Pernyataan kesetiaan kepada Soeharto juga datang dari paguyuban adat seperti Ikatan Pendekar Banten.
Untunglah, Soeharto berpikir seperti Soekarno dulu. Ia begitu mencintai bangsa ini hingga tidak ingin terjadi ‘perang saudara’. Soeharto tidak takut apa pun. Yang ditakutinya adalah bila terjadi kerusuhan massal dimana rakyat mulai saling membunuh. Ia tidak menginstruksikan para pendukungnya untuk melawan upaya memaksanya mundur dari kursi kepresidenan. Ia memilih mengalah….
Hari ini, saya makin menyadari, andai Soeharto melawan, jalannya sejarah pasti berbeda. Bisa saja Tragedi Tiananmen 1989 terjadi di Senayan 1998. Kami para pimpinan mahasiswa saat itu memang sudah siap jadi martir. Hanya saja, untunglah itu tidak terjadi. Karena bila sejarah berubah arah, bisa jadi saat ini saya sudah tidak bisa menuliskan blog ini….
Keterangan Foto: Soeharto saat menyatakan berhenti sebagai Presiden. Sumber Foto: Setneg
No comments:
Post a Comment