Ribuan Mahasiswa Duduki DPR, Belasan Menteri Ekuin Mundur, Rezim Soeharto Tumbang, BJ Habibie Presiden
4412 dibaca 1 komentar
Puluhan ribu mahasiswa menduduki Gedung DPR. Soeharto kapok jadi Presiden. Sebelas menteri bidang ekuin mundur, rezim Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun akhirnya tumbang dan BJ Habibie menjadi Presiden ke-3 Republik Indonesia. Berita-berita yang dimuat di harian Kompas pada 20, 21, dan 22 Mei 1998 itu menjadi bagian dari sejarah republik ini.
Foto di halaman pertama harian Kompas 20 Mei 1998 memperlihatkan suasana Gedung DPR diduduki puluhan ribu mahasiswa dari wilayah Jabodetabek. Mereka tidak hanya memadati halaman DPR, tetapi juga menaiki kubah gedung, memenuhi taman-taman, lorong-lorong, ataupun ruangan lobi. Inilah demonstrasi terbesar yang pernah dilakukan mahasiswa selama rezim Orde Baru berkuasa.
Dalam berita berjudul "Puluhan Ribu Mahasiswa Duduki DPR" disebutkan, ribuan mahasiswa memasuki DPR sejak pagi hari secara bergelombang. Mereka datang dengan bus-bus sewaan ataupun bus resmi universitas masing-masing. Karena penjagaan longgar, sebagian dari mereka langsung mendaki puncak kubah Gedung DPR dan memasang spanduk panjang yang meminta agar Presiden Soeharto segera mundur dari jabatannya.
Di samping mahasiswa, sejumlah pakar hukum tata negara dan anggota Komnas HAM Prof Dr Sri Soemantri, tokoh "Malari" dr Hariman Siregar, Sukmawati Soekarnoputri, Guruh Soekarnoputra, tokoh HAM HJ Princen, Ketua Komite Nasional Indonesia Untuk Reformasi Ny Supeni, Ali Sadikin, Karlina Leksono, mantan Ketua DPR/MPR Kharis Suhud yang dipapah mantan Sesdalopbang Solihin GP juga hadir. Mereka sempat melakukan dialog dan diskusi dengan mahasiswa yang berunjuk rasa.
Pada hari yang sama, berita utama harian Kompas Rabu, 20 Mei 1998, berjudul "Pak Harto: Saya Kapok Jadi Presiden", seolah menjawab tuntutan mahasiswa. Presiden Soeharto menegaskan bahwa dirinya tidak masalah jika harus mundur. "Mundur dan tidaknya, itu tidak masalah. Yang perlu diperhatikan adalah apakah dengan kemunduran saya, keadaan ini akan segera bisa diatasi," kata Soeharto dalam jumpa pers di Istana Merdeka, Selasa (19/5/1998), seusai bertemu dengan para ulama, tokoh masyarakat, berbagai organisasi kemasyarakatan dan ABRI.
Soeharto juga mengumumkan akan melaksanakan pemilihan umum secepat-cepatnya berdasarkan Undang-undang Pemilu yang baru. Dan dia tidak bersedia lagi dicalonkan sebagai Presiden. Soeharto segera membentuk Komite Reformasi yang bertugas untuk menyelesaikan UU Pemilu; UU Kepartaian; UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD; UU Antimonopoli; dan UU Antikorupsi, sesuai dengan keinginan masyarakat. Anggota komite ini terdiri dari unsur masyarakat, perguruan tinggi, dan para pakar.
"Setelah mendengar saran-saran dan pendapat dari para ulama, tokoh masyarakat, berbagai organisasi kemasyarakatan, dan pendapat ABRI, maka untuk menyelamatkan negara dan bangsa, pembangunan nasional, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta kesatuan dan persatuan bangsa, saya mengambil keputusan, sesuai dengan wewenang yang diberikan oleh MPR, saya sebagai Presiden Mandataris MPR, saya akan melaksanakan dan memimpin reformasi nasional secepat mungkin," ungkap Presiden.
Pemberi saran dan pendapat dalam pertemuan itu, Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Abdurrahman Wahid-yang hadir dengan kursi roda-budayawan Emha Ainun Nadjib, Direktur Yayasan Paramadina Nurcholish Madjid, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ali Yafie, Prof Malik Fajar (Muhammadiyah), Guru Besar Tata Negara dari Universitas Indonesia Prof Yusril Ihza Mahendra, KH Cholil Baidowi (Muslimin Indonesia), Sumarsono (Muhammadiyah), serta Ahmad Bagdja dan Ma'aruf Amin dari NU.
Belasan menteri ekuin mundur
Dalam berita harian Kompas Kamis, 21 Mei 1998, disebutkan 11 menteri di lingkungan ekonomi, keuangan, dan industri (ekuin) Kabinet Pembangunan VII hari Rabu (20/5/1998) malam menyampaikan surat pengunduran diri kepada Presiden Soeharto. Hanya dua menteri ekuin yang tak mengundurkan diri, yakni Menperindag Mohamad Hasan dan Menteri Keuangan Fuad Bawazier. Surat pengunduran diri disampaikan secara bersama-sama setelah para menteri itu berkumpul di Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di Jalan Taman Suropati.
Ketua Bappenas Ginandjar Kartasasmita, koordinator para menteri di lingkungan ekuin, memimpin para menteri untuk mundur dari jabatannya. Mundurnya para menteri di lingkungan ekuin merupakan gelombang kedua yang diterima Presiden Soeharto. Sebelumnya surat pengunduran diri sudah disampaikan Menteri Pariwisata, Seni, dan Budaya (Menparsenibud) Abdul Latief.
Sebanyak 16 menteri di lingkungan ekuin adalah Menko Ekuin/Kepala Bappenas Ginandjar Kartasasmita, Menteri Keuangan Fuad Bawazier, Menperindag Mohamad Hasan, Menteri Pertanian Ny Justika Sjarifudin Baharsjah, Mentamben Kuntoro Mangkusubroto, Menteri Kehutanan dan Perkebunan Sumahadi, Menteri Pekerjaan Umum Rachmadi Bambang Sumadhijo, Menteri Perhubungan Giri Suseno Hadihardjono, Menteri Koperasi dan Pengusaha Kecil Subiakto Tjakrawerdaya, Menteri Tenaga Kerja Theo L Sambuaga, Menteri Negara Investasi/Ketua BKPM Sanyoto Sastrowardoyo, Menteri Perumahan Rakyat dan Pemukiman Akbar Tandjung, Menteri Negara Pendayagunaan BUMN Tanri Abeng, Menteri Transmigrasi dan Perambah Hutan AM Hendropriyono, Menteri Negara Pangan, Hortikultura dan Obat-obatan Haryanto Dhanutirto, serta Menparsenibud Abdul Latief yang telah mengundurkan diri.
Menkeu Fuad Bawazier dan Menperindag Mohamad (Bob) Hasan di antara jajaran menteri ekuin yang tidak bersedia mengundurkan diri.
Berita utama harian Kompas Kamis, 21 Mei 1998, berjudul "Selamat Datang Pemerintahan Baru" menegaskan bahwa rezim Soeharto sudah tumbang. Berita itu mengutip pernyataan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Amien Rais dan cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid Kamis dini hari, "Selamat tinggal pemerintahan lama dan selamat datang pemerintahan baru". Keduanya menyambut pemerintahan transisi yang akan menyelenggarakan pemilihan umum hingga Sidang Umum MPR untuk memilih pemimpin nasional yang baru dalam jangka waktu enam bulan. Dari semua alternatif yang ada untuk menyelesaikan persoalan bangsa, kata Cak Nur, langkah yang terbaik adalah Presiden Soeharto mundur.
Soeharto berhenti, BJ Habibie presiden
Berita utama harian Kompas , Jumat, 22 Mei 1998, berjudul "BJ Habibie Minta Dukungan Rakyat". Habibie menjadi Presiden RI setelah Kamis, 21 Mei 1998, pagi harinya Soeharto menyatakan berhenti dari jabatan itu di Istana Merdeka. Habibie mengucapkan sumpah untuk jadi presiden yang baru dari negeri berpenduduk keempat terbanyak di dunia ini.
Acara peletakan jabatan Presiden berlangsung pukul 09.00 WIB di Istana Merdeka. Pukul 08.25, Wakil Presiden Habibie tiba di halaman samping Istana Merdeka. Lima menit kemudian, pukul 08.30, Presiden Soeharto tiba didampingi putri sulungnya, Siti Hardijanti Rukmana (Tutut). Lalu 10 menit kemudian, Ketua MPR/DPR Harmoko beserta empat Wakil Ketua, yakni Syarwan Hamid, Abdul Gafur, Fatimah Achmad, dan Ismail Hasan Metareum, tiba. Menyertai para pimpinan MPR/DPR adalah Sekjen DPR Afif Ma'roef.
Di muka mikrofon, Soeharto menyatakan, "Sejak beberapa waktu terakhir, saya mengikuti dengan cermat perkembangan situasi nasional kita, terutama aspirasi rakyat untuk mengadakan reformasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Atas dasar pemahaman saya yang mendalam terhadap aspirasi tersebut, dan terdorong oleh keyakinan bahwa reformasi perlu dilaksanakan secara tertib, damai, dan konstitusional."
"Demi terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa serta kelangsungan pembangunan nasional, saya telah menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan VII. Namun demikian, kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak dapat terwujud karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana pembentukan komite tersebut. Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara-cara sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi, maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi," kata Soeharto.
"Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Karena itu, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan secara sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan DPR dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis, 21 Mei 1998," ujar Soeharto.
Pengalihan kekuasaan yang bersejarah itu berlangsung 10 menit di credentials room Istana Merdeka, Jakarta, yang didahului gelombang aksi reformasi dari ribuan mahasiswa, yang didukung para cendekiawan, tokoh masyarakat, purnawirawan, dan ibu-ibu rumah tangga di sejumlah kota di negeri ini.
Kamis malam, dalam pidato pertamanya di Istana Merdeka, Presiden BJ Habibie mengharapkan dukungan sepenuhnya dari seluruh lapisan masyarakat dalam menjalankan tugas sebagai Presiden ke-3 Republik Indonesia. "Saya mengharapkan dukungan dari seluruh rakyat Indonesia untuk bersama-sama dapat keluar dari krisis yang sedang kita hadapi, yang hampir melumpuhkan berbagai sendi-sendi kehidupan bangsa," katanya.
Menurut Habibie, perjuangan mahasiswa dalam mempercepat proses reformasi merupakan angin segar yang mengembus memasuki abad ke-21. "Saya memperhatikan dengan sungguh-sungguh dinamika aspirasi yang berkembang dalam pelaksanaan reformasi secara menyeluruh, baik yang disampaikan oleh mahasiswa dan kaum cendekiawan, maupun yang berkembang dalam masyarakat serta di kalangan Dewan Perwakilan Rakyat."
Setelah 32 tahun berkuasa, rezim Orde Baru akhirnya tumbang. Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden dan sesuai Pasal 8 UUD 1945, "Jika Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya". BJ Habibie menjadi Presiden ke-3 Republik Indonesia, mengawali proses reformasi di negeri ini.
(ROBERT ADHI KSP, DIOLAH DARI BERITA-BERITA HARIAN KOMPAS, 20-22 MEI 1998)
No comments:
Post a Comment