Dalang Pemerkosa Amoi 98 Ternyata Dia
Alih-alih mengungkap Tragedi Mei 98, Presiden-Presiden RI justru berlomba memberi HADIAH kepada orang Cina agar sibuk main barongsai dan asyik merayakan Imlek lalu melupakan pemerkosaan amoi 98?
Kesimpulan
Sejak tahun 1998 Dalang menggiring opini publik bahwa kerusuhan Mei 1998 adalah kerusuhan SOSIAL karena masyarakat yang tidak tahan lagi menanggung krisis ekonomi dan menghadapi kesenjangan sosial. Itu sebabnya tidak ada dalangnya karena dilakukan secara spontan oleh masyarakat yang frustasi.
Sejak tahun 1998 Dalang menggiring opini publik bahwa kerusuhan Mei 1998 adalah AMUK masa membalas dendam atas pembunuhan mahasiswa Trisakti, itu sebabnya tidak ada dalangnya karena dilakukan secara spontan oleh masyarakat yang marah.
Berdasarkan laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), “Untuk itu, pemerintah perlu melakukan penyelidikan terhadap pertemuan di Makostrad pada tanggal 14 Mei 1998 guna mengetahui dan mengungkap serta memastikan peran Letjen Prabowo dan pihak-pihak lainya, dalam seluruh proses yang menimbulkan terjadinya kerusuhan” sejak tahun 1998 Dalang pun menggiring opini publik bahwa TGPF memvonis Prabowo merancang kerusuhan Mei 1998 di Makostrad tanggal 14 Mei 1998 bersama Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lainnya. Itu sebabnya Prabowo mustahil dalangnya sebab tidak mungkin merancang kerusuhan tanggal 14 mei 98 tengah malam sedangkan kerusuhannya sudahh berlangsung sejak tanggal 14 Mei 98.
Sejak tahun 1998 Dalang menggiring opini publik bahwa kerusuhan Mei 98 disulut untuk menjatuhkan Soeharto. Itu sebabnya, sebagai kroni apalagi menantu, Prabowo mustahil mendalanginya.
Padahal kerusuhan Mei 98 dipicu dan dipacu untuk melestarikan kekuasaan Soeharto. Setelah difitnah mengobarkan kerusuhan anti Cina maka Panglima Tertinggi pun punya alasan untuk menindas gerakan mahasiswa dengan kekerasan. Setelah kerusuhan anti Cina, presiden pun punya alasan untuk menerapkan UU Darurat sehingga berkuasa seenak jidatnya.
Bukan Kudeta Mustahil Ganyang Cina
Kerusuhan Mei 98 mustahil menjatuhkan Soeharto. Kerusuhan Mei 98 justru memberi peluang kepada presiden untuk melestarikan kekuasaannya dengan membantai mahasiswa atau menyatakan negara dalam keadaan darurat.
Kerusuhan Mei 98 bukan Ganyang Cina. Perasaan anti Cina di Indonesia bersifat pribadi, bukan kelompok. Perasaan anti Cina hanya berkobar di hati beberapa orang non Cina kepada orang Cina tertentu. Di Indonesia tidak ada SATU orang apalagi kelompok non Cina yang membenci SEMUA orang Cina. Di Indonesia memang ada kelompok yang melakukan gerakan anti Ahmadiyah, anti Syiah, anti Kristen secara sistemik dan sistematis namun tidak ada kelompok yang anti Cina secara sistemik dan sistematis.
Kerusuhan Mei 98 bukan AMUK masa BALAS DENDAM atas pembunuhan mahasiswa Trisakti. Bila hendak balas dendam masyarakat pasti menyerang aparat yang berjaga-jaga di luar kampus.
Kerusuhan Mei 98 bukan kerusuhan SOSIAL. Bila tidak tahan lagi menanggung krisis ekonomi rakyat pasti berteriak minta tolong sebelum menjarah.
Hadiah Untuk Orang Cina
Selain Pasukan Khusus hanya teroris yang mampu menyulut kerusuhan Mei 98. Bila bukan ABRI pasti TERORIS. Bila bukan Pasukan Khusus maka kerusuhan Mei 98 adalah pelecehan dan penghinaan bagi ABRI dan NKRI. Satu-satunya cara untuk menegakkan HARGA diri adalah mengungkap DALANG kerusuhan Mei 1998.
Berdasarkan Keputusan Bersama Menhankam/Pangab, Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Negara Peranan Wanita, dan Jaksa Agung, dibentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Namun sayangnya, sampai hari ini Presiden-Presiden RI dan MA menganggap rekomendasi TGPF kentut belaka. Sementara itu DPR seolah main sinetron macan ompong. Mengaum namun tidak bertaring. Mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM Adhoc ke Presiden namun tidak menindaklanjutinya.
Habibie dan SBY berlagak pilon? Masyarakat maklum sebab Habibie adalah Wakil Presiden dan SBY menjabat Kasdam Kodam Jaya saat kerusuhan berlangsung. Membongkar aib sendiri? Tak U U ya! Kenapa presiden Gus Dur yang mulia dan presiden Megawati yang terhormat juga BUNGKAM tentang Kerusuhan Mei 1998?
Tahun 1998, Habibie menerbitkan Inpres No. 26 tahun 1998 tentang penghentian penggunaan istilah pribumi dan non pribumi. Tahun 1999 Habibie menerbitkan Inpres No. 4 Tahun 1999 untuk menjalankan Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1996 tentang penghapusan SBKRI (Surat Kewarganegaraan Republik Indonesia) bagi warga non pribumi.
Tahun 2000, Gus Dur menerbitkan Keppres No. 6 tahun 2000 Tentang Pencabutan Inpres No. 14 tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina, sehingga orang Tionghoa pun bebas main barongsai.
Tahun 2001 Gus Dur mengeluarkan Keppres No. 19 tahun 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif (bagi yang merayakannya) sehingga orang Tionghoa pun merayakan Imlek terang-terangan.
Tahun 2002 Megawati mengeluarkan Keppres No. 19 tahun 2002 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional, orang Tionghoa pun asyik merayakan Imlek.
Tahun 2006 SBY mensahkan UU No. 12 tahun 2006 Tentang Kewarganeraan RI dan UU No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, untuk membebaskan orang Tionghoa dari diskriminasi sistem administrasi kependudukan.
Tahun 2014 SBY mengeluarkan Keppres No. 12 tahun 2014 tentang Pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No. 6 tahun 1967, sehingga dalam semua kegiatan penyelenggaraan pemerintahan istilah Tjina/China/Cina diganti dengan Tionghoa dan Republik Rakyat Cina (RRC) menjadi Republik Rakyat Tiongkok (RRT).
Tanya, “Kenapa?” Alih-alih mengungkap Tragedi Mei 98, presiden-presiden RI justru berlomba-lomba memberi HADIAH kepada orang Cina? Agar sibuk main barongsai dan asyik merayakan Imlek lalu melupakan pemerkosaan amoi 98?
HARTA yang musnah bisa diganti namun LUKA dan HINA yang ditanggung amoi-amoi yang diperkosa tahun 1998 diwariskan ke generasi berikutnya. Perasaan HINA yang ditanggung oleh lelaki-lelaki Tionghoa karena nggak BECUS melindungi amoi-amoinya tidak boleh dilupakan dari generasi ke generasi agar hal demikian tidak terulang lagi.
Wayang Pemerkosa Amoi 98
Memperkosa perempuan bukan tindakan mudah. Menyeret seorang perempuan dari keramaian lalu memperkosanya jauh lebih sulit lagi. Makanya, kebanyakan pemerkosaan dilakukan oleh orang yang dikenal baik. Seseorang HARUS benar-benar dikuasai nafsu birahi dan merasa AMAN barulah NEKAD memperkosa.
Pemerkosaan berkelompok mustahil terjadi secara spontan karena HANYA perlu satu orang tidak setuju untuk mencegah yang lain melakukannya. Takut yang tidak setuju buka mulut. Itu sebabnya pemerkosaan berkelompok selalu dilakukan TERENCANA. Para pelaku sepakat dulu untuk melakukannya bersama-sama barulah menentukan tempatnya kemudian mencari mangsanya.
Pelaku pemerkosaan pasti meninggalkan korbannya begitu nafsu birahinya terpuaskan. Pemerkosa yang melakukan kekerasan seksual merusak organ sex yang diperkosanya, bila tidak sakit jiwa pasti tentara terlatih yang mengemban tugas melakukan hal demikian.
Pemerkosa amoi 98 bukan orang yang tiba-tiba khilaf. Juga bukan preman-preman yang sepakat melampiaskan birahinya bersama-sama apalagi orang-orang sakit jiwa. Siapakah mereka? Mereka adalah tentara terlatih yang mengemban tugas menyulut kerusuhan Anti Cina.
Kerusuhan Anti Cina Untuk Membantai Mahasiswa
Gerakan mahasiswa menuntut Soeharto lengser dilakukan dengan damai sesuai konstitusi. Itu sebabnya ABRI tidak punya alasan untuk menghentikannya dengan kekerasan. Bila memaksa, maka Indonesia akan dikecam dan dikucilkan sebab pada tahun 1998, mata seluruh dunia tertuju ke Indonesia. Itu sebabnya satu-satunya cara adalah memprovokasi mereka agar bertindak anarki. DALANG kerusuhan Mei 98 melakukannya dengan tiga cara yaitu:
1. Menyusupkan agen untuk memprovokasi mahasiswa melakukan pengrusakan dan penyerangan aparat.
2. Mengerahkan masa tandingan untuk bentrok dengan mahasiswa.
3. Memicu dan memacu kerusuhan Anti Cina lalu menjadikan mahasiswa kambing hitamnya.
Pembunuhan Mahasiswa Trisakti
Pembunuhan Mahasiswa Trisakti
Karena jendral AH Nasution akan berorasi maka kurang lebih 6.000 mahasiswa dan dosen Trisakti pun hadir untuk mendengarkannya. Namun, sang jendera tidak kunjung datang. Kenapa AH Nasution tidak jadi ke Trisakti? Saya tidak tahu. Media tidak memberitakannya. Tim Gabungan Pencari Fakta pun tidak mengungkapnya.
Pembunuhan mahasiswa Trisakti terjadi antara jam 17. 05-18.30 WIB saat mahasiswa yang gagal ke MPR kembali ke kampusnya. Setelah provokator yang mengaku alumni Trisakti gagal memicu bentrokkan dan beberapa orang aparat yang mengejek dan menghina mahasiswa gagal memacu kemarahan mahasiswa maka sekonyong-konyong aparat menembak dan melontarkan dan gas air mata membabi-buta. Popor senjata dan pentungan menghajar mahasiswa tanpa pilih bulu lelaki atau perempuan. Yang sudah jatuh ditendang dan diinjak tanpa belas kasihan. Pasukan URC (Unit Reaksi Cepat) penunggang motor mengejar mahasiswa yang panik sampai ke depan pintu gerbang.
Puluhan mahasiswa terluka. Enam orang tertembak dan empat mahasiswa gugur ditembus peluru. Hendriawan Sie, 20 tahun ditembak lehernya. Elang Mulya Lesmana, 19 tahun, ditembak dadanya. Hafidhin Royan, 21 tahun, ditembak kepalanya. Hery Hartanto, 21 tahun ditembak punggungnya. Terbukti kemudian, peluru yang digunakan bukan milik ABRI. Bila demikian, siapa yang menembak mahasiswa dengan peluru tajam?
Kapten Agustri Heryanto, Komandan Kompi II Batalyon B Resimen I Korps Brimob yang diadili Mahkamah Militer sehubungan kasus penembakan mahasiswa Trisakti bersaksi, “Tembakannya keras. Lebih keras dari tembakan peluru karet, arah tembakan dari Tol di Citraland.”
Lettu Anneke Wacano (Polwan) bersaksi kepada Komnas HAM tentang Land Rover hijau milik anggota TNI di jembatan layang di depan Kampus Trisakti. Dua anggota TNI seragam hitam membidik ke kampus Trisakti dengan senjata laras panjang berteleskop. Satu kali letusan senjata kemudian keduanya menghilang ke mall Citraland.
Tembakan jarak jauh artinya penembak tidak sedang terancam keselamatannya oleh mahasiswa. Tidak dilakukan dalam kondisi panik untuk menyelamatkan diri. Dilakukan dalam hiruk pikuk aparat mengamuk dan mahasiswa panik. Pelakunya jago tembak dan tidak membangkitkan kecurigaan aparat yang melihatnya. Gamblang sekali. Dilakukan secara sengaja untuk membunuh mahasiswa. Tujuan jangka pendek membuat mahasiswa marah. Tujuan jangka panjang tidak diketahui identitasnya dan menjadikan Polisi kambing hitam.
Uji balistik menunjukkan peluru ditembakan dari senapan laras panjang SS-1 dan Styer. Kedua jenis senjata itu digunakan oleh pasukan gegana.
Yang menembak mahasiswa namanya Wayang. Yang menyuruh nembak disebut Dalang. Bila Dalangnya Polisi dan tidak mau dilacak, mustahil menyuruh nembak dengan senjata yang Gegana (Brimob), bukan? Bila bukan Polisi, lalu siapa? Siapakah mereka?
Mohon maaf tanpa mengurangi rasa hormat, bau tidak sedapnya mengarah ke Kopassus. Kenapa demikian? Karena prajurit Kopassus dilatih memakai berbagai jenis senjata dan keahlian menembak adalah salah satu syarat utama untuk menjadi Kopassus. Tim Mawar Kopassus dibentuk Prabowo untuk menculik para aktivis. Anggota tim Mawar mengaku hanya komandan tim yang tahu sepak terjang mereka, Danjen Kopassus tidak tahu. Anggota Kopassus penyerang LP Cebongan Sleman 2013 juga mengaku, hanya komandan tim yang tahu sepak terjang mereka. Selain Kopassus pasukan jago tembak dan ahli menyamar mana lagikah yang bisa digerakkan seenak jidat komandan timnya untuk bertindak seenak jidatnya?
Kampus-Kampus Pada Tanggal 13 Mei 1998
Di Jakarta pada tanggal 13 Mei 1998 tidak ada mahasiswa yang beraksi di luar kampusnya masing-masing.
Mahasiswa UI dan Unika Atma Jaya sama-sama mengirim perwakilan ke Trisakti dan menggelar “Solidaritas Trisakti” di dalam kampus. Untuk menghindari keributan dengan masa di luar kampus yang memaksa demo ke MPR, pintu gerbang pun ditutup dan dijaga.
Sore harinya muncul satu peleton pasukan mengenakan baju terusan (semacam Wearpack) warna abu-abu dan helm PHH (Pasukan Anti Huru-Hara) tanpa tanda kesatuan di luar kampus Atma Jaya. Mereka menyandang perisai dan pentungan serta senapan laras panjang SS-1 V-1 tanpa magasin. Tanpa magasin artinya paling banyak hanya bisa menembakkan satu peluru. Mereka sedang mengumumkan dirinya tidak bermaksud menembak? Saya tidak tahu.
Kampus Trisakti Pada 13 Mei 1998
Kampus dipenuhi mahasiswa Trisakti, Untar dan Ukrida serta perwakilan barbagai kampus lain. Hanya yang menunjukkan kartu mahasiswa atau yang dikenal boleh masuk.
Sekitar jam 11.00, sekelompok masa berbaju koko dan berpeci, dilarang masuk karena tidak punya kartu mahasiswa dan tidak dikenal. Mereka memaksa masuk dengan bringas namun di halau tanpa tedeng aling-aling. Masa itu melakukan Shalat Ghaib (Shalat dari jauh untuk mayat) di jalan S Parman. Selesai shalat mereka pun berteriak-teriak mengajak mahasiswa ikut ke MPR. Karena diabaikan mereka pun memaki, “Mahasiswa Pengecut!” dan melempari mahasiswa dengan batu.
Sekitar jam 13.00, masa berseragam SMA dan SMP memenuhi Jl Kyai Tapa di luar kampus Trisakti. Seragam mereka tidak lengkap bahkan anak SMP pakai celana panjang. Umurnya terlalu tua untuk anak SMA apalagi SMP. Mereka mencegat lalu membajak truk tanah berwarna kuning yang lalu ditabrakkan ke pom bensin di sebelah terminal Grogol.
Ketika aparat bergerak menghalau, masa melawan dengan lemparan batu sambil berteriak, “Pembunuh! Pembunuh! Pembunuh!” Sebagian mahasiswa di dalam kampus ikut meneriaki polisi, “Hai anjing LU! Pembunuh! Pembunuh! Pembunuh!”
Dari atas jembatan layang, beberapa orang aparat membidik mahasiswa di dalam kampus dengan senjata laras panjang yang siap diletuskan. Melihat hal demikian, mahasiswa Trisakti dan Untar pun kalap lalu keluar kampus dan menantang aparat untuk menembak. Tantangannya diabaikan mahasiswa pun melempari aparat dengan batu. Aparat kabur. Mundur.
Sekitar jam 14.00, mahasiswa dikejutkan teriakan, “Polisi datang. Siap-siap!” Sebagian mahasiswa segera berlindung yang lainnya justru mencari batu untuk berperang. Bunyi senapan memekakan telinga dan gas air mata mengebul di mana-mana. Mahasiswa-mahasiswa kampus lain pun memutuskan untuk meninggalkan Trisakti. Dipimpin oleh mahasiswa Ukrida dan Untar mereka memanjat ke kampus Untar lalu keluar di Jl. Tawakal dan menghilang lewat jalan-jalan tikus.
Atma Jaya Tanggal 14 Mei 1998
Di dalam kampus, mahasiswa melakukan orasi mendukung reformasi. Adnan Buyung Nasution juga hadir dan diberi kesempatan berorasi.
Aneh bin ajaib! Satu peleton (sekitar 30 orang) pasukan dengan baju terusan (semacam Wearpack) berwarna abu-abu dan helm PHH tanpa tanda kesatuan, menyandang perisai dan pentungan serta senapan laras panjang SS-1 V-1 tanpa magasin yang muncul sore hari tanggal 13 Mei 1998, muncul kembali. Mungkin karena diberitahu seseorang atau karena melihat dandanan mereka yang tanpa kesatuan maka rektor Atma Jaya pun menghampiri mereka dan berbicara dengan komandannya. Ketika ditanya dari kesatuan mana, komandan peleton itu mengaku mereka bukan Brimob namun Kopassus. Dia juga menyatakan mereka siap mengawal mahasiswa ke gedung MPR.
Panser-panser Yonkav 7 Sersus melintas ke arah Bunderah HI meskipun semua moncong senapannya mengarah ke kampus Atma Jaya. Tidak lama setelah konvoi, muncul masa yang mengajak kemudian mengejek dan menghina “Mahasiswa pengecut!” bahkan melempari mahasiswa dengan batu untuk mengajak mereka ke MPR.
Provokasi itu baru berhenti ketika mahasiswa Atma Jaya keluar kampus dan menagih janji komandan Kopassus berdandan PHH untuk mengawal mahasiswa ke MPR. Masa itu pun membaur dengan dua puluhan mahasiswa yang bergerak ke MPR dikawal oleh peleton Kopassus, jumlah seluruh masa hampir 100 orang. Beberapa saat kemudian ada bunyi tembakan dari pasukan lain di sekitar kampus Atma Jaya namun tidak terjadi apa pun sampai mahasiswa yang pergi dengan PHH kembali ke kampus dan bergabung dengan sebagian besar mahasiswa lainnya yang asyik mengikuti mimbar bebas dihalaman kampus.
Ukrida Tanggal 14 Mei 1998
Mahasiswa pun menjalani waktu dengan ngobrol dan main futsal sambil mendengarkan radio. Sekitar jam 14.00, masa bebaju koko, berseragam SMA dan SMP mendatangi dari Mall Taman Anggrek sambil mengacung-acungkan golok dan pentung. Sambil berteriak, “Bakar! Bakar!” mereka berusaha mendobrak gerbang. Mahasiswa pun mempersenjatai diri dengan kayu dan batu untuk menghadapi penyerang.
Tiba-tiba terdengar suara berondongan senapan dari arah Tanjung Duren. Masa pun lari tunggang-langgang. Sebagian masa dengan wajah ketakutan memohon untuk menyelamatkan diri ke dalam kampus. Permintaannya ditolak mentah-mentah. Yang melepaskan tembakan adalah polisi-polisi polsek Tanjung Duren.
Pada Tanggal 13 Mei 98 Tidak Ada Kerusuhan
TGPF: Dari sudut urutan peristiwa, TGPF menemukan bahwa titik picu paling awal kerusuhan di Jakarta terletak di wilayah Jakarta Barat, tepatnya wilayah seputar Universitas Trisakti pada tanggal 13 Mei 1998.
TGPF salah! Pada tanggal 13 Mei 98, selain truck tanah yang dibajak sekitar jam 13.00 lalu ditabrakkan ke pom bensin oleh masa berseragam SMP dan SMA, tidak ada kerusuhan di seputar Trisakti. Sekitar jam 14.00 aparat menghujani kampus Trisakti dengan tembakan dan lontaran gas air mata, namun tidak ada korban.
Beberapa orang bersaksi, antara jam 18.00-19.00, melihat penjarahan di diskotik Top One di Jl. Daan Mogot padahal yang terjadi adalah satpam diskotik sebagian tanpa seragam mengeluarkan botol-botol kosong lalu membantingnya di halaman diskotik untuk membuat barikade beling guna menghalangi orang masuk.
Ada yang bersaksi melihat mall Tomang Plaza (Topaz) dijarah dan dibakar sejak sore dan apinya baru padam malam harinya, padahal, tidak ada kebakaran sama sekali. Yang terjadi sore itu adalah masa membakar sampah dan ban bekas di halaman Topaz.
Sekitar jam 20.00, masyarakat Jelambar berjaga-jaga karena mendengar kabar, di Jl. Angke (antara Jembatan Dua sampai Pesing) sudah terjadi penjarahan bahkan pembakaran, padahal, tidak ada penjarahan apalagi pembakaran.
Ada yang bersaksi, sejak sore terjadi penjarahan dan pembakaran di Jembatan Lima, padahal tidak ada sama sekali. Jl. Hayam Wuruk dan Gajah Mada kondisinya aman-aman saja sampai tanggal 14 Mei 1998 pagi.
Jam 19.00, di Keresek, Jakarta Barat, masa meneriakan yel-yel anti Cina ke dalam komplek perumahan. Tindakannya memancing orang-orang kampung menontonnya. Masa kampung berdiri di belakang provokator, itu sebabnya ketika penghuni komplek keluar, mereka menyangka semua orang yang berdiri di seberang lapangan adalah penyerang. Makanya, ketika diserang dengan batu oleh masa provokator penghuni komplek pun membalasnya. Karena penduduk kampung yang berdiri di belakang masa provokator merasa diserang penghuni komplek maka mereka pun menyerang balik. Terjadilah saling lempar batu dan kayu. Ketika penghuni komplek berhenti menyerang orang-orang kampung pun berhenti membalas. Tidak ada yang terluka karena jaraknya kedua masa terlalu jauh. Karena tidak ada tontonan lagi masa kampung dan penghuni komplek pun pulang.
Kerabatku sekalian, pada tanggal 13 Mei 1998, tidak ada kebakaran apalagi pembakaran di Jakarta. Silahkan melakukan konfirmasi ke Pos Pemadam Kebakaran terdekat dari lokasi yang diisyukan terjadi penjarahan dan pembakaran. Yang terjadi sore hingga malam itu adalah kemacetan total karena sebagian masyarakat panik termakan isyu kerusuhan anti Cina merebak di mana-mana. Yang terjadi hari itu adalah preman-preman berkeliaran di jalan-jalan menyebarkan isyu tentang kerusuhan anti Cina kepada para pengendara. Yang terjadi hari itu adalah preman-preman gagal melakukan kerusuhan dan gagal pula memancing masyarakat untuk melakukan kerusuhan.
Kerusuhan 13 Mei 1998 di Mata Prabowo
Keesokan harinya, sejak pukul 08.00 WIB, saya mengontak Kol. Nur Muis dan menyampaikan usulan agar acara di Malang ditunda. Atau, kehadiran pangab dibatalkan saja karena situasi ibu kota genting. Biar saya saja yang berangkat. Jawaban dari Pak Wiranto yang disampaikan lewat Kol. Nur Muis, acara tetap berlangsung sesuai rencana. Irup (Inspektur Upacara—Red.) tetap Pak Wiranto dan saya selaku pangkostrad tetap hadir. Beberapa opsi usulan saya tawarkan kepada Pak Wiranto, yang intinya agar tidak meninggalkan ibu kota, karena keadaan sedang gawat. Posisi terpenting yang harus diamankan adalah ibu kota. Tapi, sampai sekitar delapan kali saya telepon, keputusan tetap sama. Itu terjadi sampai malam hari.
Jadi, pada 14 Mei, pukul 06.00 WIB kita sudah berada di lapangan Halim Perdanakusuma. Saya kaget juga. Panglima utama ada di sana. Danjen Kopassus segala ikut. Saya membatin, sedang genting begini kok seluruh panglima, termasuk panglima ABRI malah pergi ke Malang. Padahal, komandan batalion sekalipun sudah diminta membuat perkiraan cepat, perkiraan operasi, begini, lantas bagaimana setelahnya. Tapi, ya sudah, saya patuh saja pada perintah. Saya ikut ke Malang.
Kejadian tersebut bermula hari Selasa, 12 Mei, ketika Prabowo menerima panggilan telepon. Beberapa mahasiswa tertembak selama demonstrasi di Universitas Trisakti. Naluri pertama Prabowo adalah untuk menyalahkan pasukan keamanan yang tidak disiplin. “Kadang-kadang polisi dan tentara kita begitu tidak profesional. Anda dapat melihat beberapa kesatuan seperti itu. Ya, Tuhan, ini bodoh. Itu adalah reaksi pertama saya.”
Merasa situasi darurat segera terjadi, dia pergi ke markas besarnya di Medan Merdeka, yang hanya terletak di samping markas garnisun. Sebagai Panglima Kostrad, tugas Prabowo adalah menyediakan anak buah dan peralatan. “Saya memanggil pasukan, menyiagakan mereka,” katanya. “Pasukan ini selalu di bawah kendali operasional dari komandan garnisun (Pangdam Jaya). Itulah sistem kami. Saya pada dasarnya hanya berkapasitas sebagai pemberi saran. Saya tidak mempunyai wewenang.”
Dia kembali ke rumah setelah tengah malam, tetapi kembali ke markas Kostrad pagi-pagi esok harinya, 13 Mei. Ketika perusuh mulai merampok dan membakar gedung-gedung, Prabowo menghabiskan waktu seharian untuk memikirkan cara bagaimana menggerakkan dan menampung batalion-batalionnya. Kecemasan lain: esok harinya Wiranto telah dijadwalkan memimpin sebuah upacara angkatan darat pada pagi berikutnya di Malang, Jawa Timur, sekitar 650 km lebih dari ibukota yang sedang kacau. Sepanjang tanggal 13 Mei, Prabowo berkata bahwa dia mencoba membujuk Wiranto untuk membatalkan kehadirannya di Malang. “Saya menganjurkan bahwa kita membatalkan upacara tersebut di Malang,” katanya. “Jawabnya: tidak, upacara tersebut tetap berlangsung. Saya menelepon kembali. Itu terjadi bolak-balik. Delapan kali saya menelepon kantornya, delapan kali saya diberitahu bahwa upacara itu harus tetap dilaksanakan.”
Di halaman 85 bukunya yang berjudul, “Konflik dan Integrasi TNI-AD” yang diterbitkan oleh Institute for Policy Studies tahun 2004, Mayjen Kivlan Zen menyalahkan Wiranto yang kekeh jumekeh ke Malang untuk menjadi Inspektur upacara serah terima PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I Kostrad ke Divisi II Kostrad walaupun Pangkostrad Letjen Prabowo Subianto telah menyarankan agar tidak usah berangkat karena saat itu Jakarta sudah genting sebab pembakaran dan kerusuhan terjadi di mana-mana dan upacara tersebut tidak penting karena Kivlan Zen telah menyiapkan perpindahan itu sejak Maret tahun 1998 waktu dia masih menjabat Panglima Divisi II Kostrad di Malang.
Dalang Kerusuhan Mei 1998 Adalah Wiranto?
Banyak orang menuduh Dalang kerusuhan Mei 1998 adalah Pangab Wiranto. Buktinya pada tanggal 14 Mei 1998 dia kekeh-jumekeh mengajak Kasad, Pangkostrad Danjen Kopasus dan beberapa petinggi Mabes ABRI ke Malang, padahal kepada majalah Asiaweek, Prabowo bersaksi menelpon Wiranto, “Tanggal 13 Mei 1998 Saya menganjurkan bahwa kita membatalkan upacara tersebut di Malang karena situasi ibu kota genting. Jawabannya: tidak, upacara tersebut tetap berlangsung. Saya menelepon kembali. Itu terjadi bolak-balik. Delapan kali saya menelepon kantornya, delapan kali saya diberitahu bahwa upacara itu harus tetap dilaksanakan.” Namun kepada Majalah Panji Prabowo menyampaikan kesaksian berbeda, “sejak pukul 08.00 WIB, saya mengontak Kol. Nur Muis dan menyampaikan usulan agar acara di Malang ditunda. Atau, kehadiran pangab dibatalkan saja karena situasi ibu kota genting. Biar saya saja yang berangkat. Jawaban dari Pak Wiranto yang disampaikan lewat Kol. Nur Muis, acara tetap berlangsung sesuai rencana.”
Untuk apa Wiranto kekeh-jumekeh ke Malang? Agar tidak dituduh Dalang kerusuhan Mei 98 karena tidak ada di Jakarta waktu kerusuhan merebak? Agar perusuh bebas beraksi sebab tidak ada yang memimpin aparat melakukan perlawanan?
Wiranto bersaksi dan Prabowo membenarkannya bahwa menjadi Inspektur upacara di Malang bukan idenya namun permintaan Pangkostrad Prabowo. Kepala Staf Kostrad Kivlan Zen bersaksi, acara tersebut sudah dia persiapkan bulan Maret 1998 ketika masih menjabat Panglima Divisi II Kostrad Malang. Itu sebabnya mustahil Wiranto menyusun skenario pergi ke Malang agar tidak disangka Dalang kerusuhan atau agar perusuh bebas beraksi.
Pada tahun 1998 yang bertanggung jawab atas pengamanan suatu daerah adalah Kapolda dengan Pangdam sebagai wakilnya. Pada bulan Mei 1998, Kapolda Metro Jaya dijabat oleh Mayjen Hamami Nata dan Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin menjadi Pangdam Jaya. Keduanya tidak ikut ke Malang. Kasad, Pangkostrad, Danjen Kopasus dan petinggi Mabes ABRI yang diajak Wiranto ke Malang tidak bertanggungjawab atas pengamanan Jakarta.
Di dalam buku “Bersaksi di Tengah Badai” Wiranto bersaksi, “Setiap telepon yang masuk selalu tercatat di sekretaris pribadi atau ajudan. Kenyataannya, permintaan pembatalan ini tak ada dalam catatan sekretaris pribadi atau ajudan saya.” Siapa yang melakukan pembohongan publik? Wiranto atau Prabowo?
Dalam kesaksiannya di depan TGPF, Kapolda Metro Jaya, Hamami Nata menyatakan kerusuhan ini (red: kerusuhan Mei 98) sangat terorganisir dan dilakukan orang-orang terlatih. Ia memperlihatkan foto-foto yang membuktikan bahwa pelakunya sangat terlatih. Ia juga mengatakan bahwa alat komunikasi polisi dijam (dibuat tidak berfungsi), dan pos-pos polisi dibakar.
Ketika ditanya TGPF, mengapa polisi tidak melakukan penembakan untuk menghentikan para perusuh, Hamami Nata menjawab, “Bagaimana kami mau menembak kalau di tengah-tengah masa itu ada orang-orang bersenjata dari angkatan?”
Lebih lanjut Hamami Nata menyatakan itulah alasan Polisi menarik diri. Untuk menghindari jatuhnya korban. Sejak sore tanggal 14 Mei 1998, Pangdam Jaya mengambil alih tugas pengamanan Jakarta dari Kapolda.
Kepada TGPF Pangdam Jaya Sjafrie Sjamsoeddin memberi keterangan, “Pada tanggal 12 Mei 1998, ketika Operasi Mantap Jaya untuk mengamankan Pemilu digelar, pasukan yang diturunkan di Jakarta berjumlah 60 Satuan Setingkat komando (SKK), atau sekitar 6.000 pasukan. Kemudian pada tanggal 13 Mei, jumlahnya ditingkatkan menjadi 112 SSK. Sedangkan tanggal 14 Mei ditambah lagi menjadi 142 SSK, sehingga jumlah keseluruhan menjadi 14.200 pasukan. Namun dengan begitu banyaknya upaya yang telah dilakukan tetap saja kekurangan personil dilapangan tetap muncul.”
Kesaksian Kapolda Metro Jaya dan Pangdam Jaya membuktikan bahwa kepergian Pangab Wiranto ke Malang sama sekali tidak ada kaitannya dengan kerusuhan yang terjadi di jakarta.
Berbeda dengan laporan TGPF dan kesaksian Prabowo serta Kivlan Zen, pada tanggal 13 Mei 1998, di Jakarta tidak terjadi kerusuhan sama sekali. Sampai keberangkatan Wiranto ke Malang jam 06.00 tanggal 14 Mei 1998 tidak ada situasi gawat apalagi perusuh mulai merampok dan membakar gedung-gedung di Jakarta. Jakarta aman-aman saja.
Berdasarkan fakta-fakta di atas, tidak ada alasan bagi Wiranto untuk membatalkan kunjungannya ke malang. Menuduh Wiranto sebagai Dalang kerusuhan karena kepergiannya ke Malang adalah pepesan kosong alias omong kosong.
Prabowo Dalang Kerusuhan Mei 1998?
Kepada Asiaweek, Prabowo bersaksi menelpon Wiranto 8 kali, namun kepada majalah Panji dia bersaksi berkomunikasi dengan Wiranto lewat Kolonel Nur Muis. Di samping itu, Wiranto bersaksi bahwa semua telpon masuk ke Pangab pasti dicatat ajudanya namun tidak ada catatan telpon dari Prabowo pada tanggal 13 Mei 1998.
Kenapa ucapan Prabowo plintat-plintut? Kenapa kesaksiannya mencla-mencle?
Pada tanggal 13 Mei 1998, Prabowo adalah Pangkostrad sementara Kivlan Zen adalah Kepala Staf Pangkostrad. Keduanya bersaksi bahwa pada tanggal 13 Mei 1998 Jakarta dalam kondisi genting karena kerusuhan perampokan dan pembakaran gedung sudah merebak di mana-mana. Padahal hari itu tidak ada kerusuhan sama sekali. Tanggal 13 mei 1998 Jakarta aman-aman saja.
Dari mana Prabowo dan Kivlan Zen mendapat informasi perusuh mulai merampok dan membakar gedung di mana-mana padahal tidak ada kerusuhan? Dari hongkong? Mungkinkah keduanya tidak sehat rohani dan akal budi itu sebabnya berhalusinasi Jakarta genting karena perusuh sudah mulai merampok dan membakar gedung-gedung di mana-mana? Saya tidak tahu.
Menjawab pertanyaan majalah Panji, “Benarkah Anda mengusulkan agar Pak Harto lengser?” Prabowo bersaksi, “Ya. Malah sebelum Pak Harto mundur. Setelah terjadi peristiwa Trisakti, saya pernah mengatakan kepada seorang diplomat asing. Tampaknya Pak Harto akan mundur. Eskalasi situasi dan peta geopolitik saat itu menghendaki demikian. Saya juga kemukakan ini sehari setelah Pak Harto kembali dari Kairo (15 Mei 1998—Red.). Aplagi Pak Harto di Kairo memang mengisyaratkan kesediaan untuk lengser. Mungkin ada yang tidak suka saya bicara terbuka. Tapi saya biasa bicara apa adanya dan terus terang. Saya tidak suka basa-basi. Mungkin di situ masalahnya.”
Kepada majalah Asiaweek Prabowo bersaksi, “Sabtu sore, tanggal 16 Mei (red: setelah Pak Harto kembali dari Kairo), seorang teman memperlihatkan selembar salinan yang tampaknya seperti suatu pernyataan pers dari Mabes ABRI yang mendukung sikap NU (Red: agar Soeharto lengser). Prabowo langsung pergi menghadap Presiden. “Pak, ini berarti militer meminta Bapak mundur!” katanya memberitahu Soeharto.”
Mohon maaf, tanpa mengurangi rasa hormat, kenapa Prabowo mengaku kepada Panji dia memberi saran kepada Pak Harto untuk mundur padahal yang dia lakukan adalah mengadu? Kenapa ucapannya plintat-plintut? Kenapa kesaksian Prabowo mencla-mencle? Saya tidak tahu!
Asiaweek menulis: Pada tanggal 18 Mei, Prabowo bertemu Amien Rais. Tokoh oposisi ini, seingat Prabowo, mengatakan: “Saya rasa situasinya sekarang tidak dapat dipertahankan lagi. Saya rasa Anda harus meyakinkan Pak Harto untuk mundur.” Tetapi posisi Prabowo jelas-jelas tidak memungkinkan. … Prabowo kemudian menemui putri sulung Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana, alias Tutut. Menurut Prabowo, Tutut bertanya apa langkah mereka berikutnya. “Saran saya,” kata Prabowo, “Ganti Wiranto atau terapkan UU darurat. Soeharto tidak ingin melakukan keduanya. Maka saya berkata: ‘Apakah ada cara lain?’.” Tutut lalu bertanya apa yang akan terjadi bila ayahnya mundur. Prabowo menjawab, berdasarkan undang-undang, Habibie yang akan menggantikan.
Sekali lagi mohon maaf, tanpa mengurangi rasa hormat, kenapa Prabowo mengaku memberi saran kepada Pak Harto untuk mundur padahal usulannya kepada mbak Tutut adalah, “Ganti Wiranto atau terapkan UU darurat!”? Kenapa plintat-plintut? Kenapa Prabowo mencla-mencle? Saya tidak tahu!
Kenapa Prabowo mengaku kepada Panji dirinya mengusulkan Soeharto untuk mundur padahal kepada Amin Rais dia mengaku posisinya tidak memungkinkan untuk menyampaikan pesan Amin Rais agar Soeharto mundur? Prabowo hanya menjawab pertanyaan Tutut, apa yang terjadi bila ayahnya mundur, kenapa mengaku mengusulkan Soeharto mundur? Kenapa plintat-plintut? Kenapa mencla-mencle? Saya tidak tahu!
Prabowo bersaksi, tanggal 20 Mei 1998, di rumah presiden Soeharto, Wiranto ada di sana, ketika menyangka dirinya akan mendapat pujian, Mamiek Soeharto justru menudingkan telunjuknya sejauh satu inci dari hidung Prabowo dan berteriak, “Kamu pengkhianat! Jangan injakkan kakimu di rumah saya lagi!”
Kenapa Mamiek menuding Prabowo pengkhianat? Apa alasan Mamiek menuding Prabowo pengkhianat? Saya tidak tahu! Sampai hari ini kita tidak tahu! Kalau saja Mamiek atau keluarga Soeharto lainnya mau bicara?
Akhir Kata
Kenapa bilang “perusuh mulai merampok dan membakar gedung di mana-mana” padahal Jakarta aman-aman saja? Karena sudah memberi perintah untuk memprovokasi mahasiswa dan masyarakat melakukan kerusuhan makanya yakin perintahnya sudah dilaksanakan? Karena mendapat laporan ABS (Asal Bapak Senang) makanya menyangka perintahnya sudah dilaksanakan dengan baik? Saya tidak tahu!
Kambing hitamnya tidak mau keluar kandang pada tanggal 13 Mei 1998? Kambing hitamnya kekeh jumekeh tidak mau keluar kandang pada tanggal 14 Mei 1998? Bukankah tujuannya menjadikan mahasiswa kambing hitam? Kenapa tetap melakukan kerusuhan padahal kambing hitamnya tidak keluar kandang? Karena Dalangny ke Malang dengan banyak SAKSI makanya tidak bisa mengendalikan operasi? Saya tidak tahu!
Karena hanya Dalang yang tahu skenarionya sementara wayangnya hanya melaksanakan perintah? Itu sebabnya yang diperintah memprovokasi mahasiswa pun memprovokasi mahasiswa? Yang diperintah mengumpulkan masa pun mengumpulkan masa? Yang diperintah anti Cina pun memaki-maki orang Cina? Yang diperintah menjarah pun menjarah? Yang diperintah membakar pun membakar? Yang diperintah membakar rumah om Liem pun membakar rumah om Liem? Yang diperintah menyiksa pun menyiksa? Yang diperintah membunuh pun membunuh? Yang diperintah memperkosa amoi pun memperkosa amoi? Yang diperintah melakukan kekerasan seksual kepada amoi pun melakukan kekerasan seksual kepada amoi?
Tahun 1998, Sjafrie Sjamsoeddin adalah Pangdam Jaya. Kapolda Metro Jaya dijabat oleh Hamami Nata. Prabowo adalah Pangkostrad. Kapolrinya Dibyo Widodo. Subagyo HS menjabat Kasad dan Menhan/Pangab dijabat oleh Wiranto. ABRI bukan warung kopi, itu sebabnya untuk segala sesuatu ada Prosedur Tetap-nya (Protap). Di samping itu, biarkan para pembual terus membual sampai menyangkal bualannya sendiri.
Kerabatku sekalian, mustahil wayang-wayang beraksi bila tidak ada Dalangnya. Meskipun wayang-wayang digerakkan dan bergerak untuk memenuhi kehendak Dalangnya, namun siapakah yang menanggap?
No comments:
Post a Comment