Sunday, May 29, 2016

Soeharto Marah Karena Lady Di 

[INDONESIA-L] Soeharto Marah Karena

From: apakabar@clark.net
Date: Sun Sep 07 1997 - 14:36:00 EDT



Forwarded message:
From owner-indonesia-l@indopubs.com Sun Sep 7 17:28:42 1997
Date: Sun, 7 Sep 1997 15:25:46 -0600 (MDT)
Message-Id: <199709072125.PAA13951@indopubs.com>
To: indonesia-l@indopubs.com
From: apakabar@clark.net
Subject: [INDONESIA-L] Soeharto Marah Karena Lady Di
Sender: owner-indonesia-l@indopubs.com
INDONESIA-L

Date: Sun, 7 Sep 1997
To: apakabar@clark.net
Subject: SOEHARTO MARAH KARENA LADY DI
SOEHARTO MARAH, MEDIA MASSA DIANGGAP TERLALU MEM-BLOW UP KEMATIAN LADY DI.
[CATATAN BUAT WISNU]
Sungguh dahsyat. Peristiwa kematian hingga pemakaman "Putri Di hati Semua
Rakyat" Lady Di, tak dapat disangkal merupakan peristiwa maha akbar di
tingkat dunia yang pernah terjadi sejak tragedi Presiden Kennedy pada
1963. Berjuta orang tumpah secara langsu ng mengantar kepergian sang Duta
Kemanusiaan. Dan sekitar 2,5 milyar pasang mata mengikuti dengan berbagai
perasaan kepergian bekas guru taman kanak-kanak nan jelita ini. Juga di
Indonesia. Saya sendiri, ketika Elton John melantunkan Candle In the Wind,
t ak sanggup menahan haru. Air mata saya menitik. Kenapa dia, yang penuh
kasih terhadap sesama, terlalu cepat pergi? Kenapa bukan yang tua-tua,
tapi suka menindas, itu yang celaka? Kenapa harus Lady Di?
Perasaan semacam ini, anehnya, tak muncul saat Ibu Tien Soeharto
meninggal. Wisnu Ali Martono boleh bilang: Ibu Tien meninggal pada hari
baik, hari Idul Adha yang disucikan umat Islam, tepat pada hari Minggu
yang disucikan umat Kristen, tak membuat jalana n macet -- yang artinya
tak membuat jengkel pemakai jalan. Tapi cuma itu. Tak ada rasa kehilangan,
tak ada rasa keingintahuan, tak ada keterharuan, ketika wanita ini
meninggal dunia. Minimal itu terjadi pada diri saya. Dan saya yakin, saya
tak sendiri.
Pada saat Ibu Tien meninggal, yang terlambat saya ketahui, karena pada
hari itu saya bangun siang, tak membuat saya terloncat bangun. Begitu juga
teman-teman sekontrakan. Mereka bahkan menggedor pintu kamar saya untuk
memberitahu dengan sikap yang -- maaf -- terkesan gembira. Buktinya,
mereka menyampaikan berita itu sambil tertawa-tawa. Kenapa? Apakah mereka
anggota PRD, Pijar, atau pengikut GJA? Tidak. Mereka orang-orang biasa,
orang-orang swasta yang bahkan sering amat terlambat mengikuti peristiwa
poli tik. Kenapa mereka tak sedih? Dan kenapa mereka, pada hari Sabtu
kemarin, sanggup duduk berjam-jam di depan pesawat televisi; satu hal yang
justru berlawanan ketika televisi memborbardir publik Indonesia dengan
berita kematian Ibu Tien?
Lady Di, dalam skala apa pun, memang tak bisa dibandingkan hanya dengan
seorang Tien Soeharto. Pernahkah Ibu Tien menunjukkan kasih yang amat
tulus kepada orang-orang tersingkir? Pernahkah dia memeluk seorang bocah
korban ranjau dengan amat mesra? Pernahk ah dia bersalaman, tanpa sarung
tangan, dengan penderita penyakit kusta atau AIDS? Tidak. Sebab, yang
dilakukan Ibu Tien hanyalah membesarkan kekayaan keluarga. Apa pun
dalihnya. Barangkali itulah sebabnya, kenapa saya dan kawan-kawan sama
sekali tak mera sa kehilangan dengan kematiannya. Tak ada perasaan apa
pun. Sumpah deh. Bahkan malam harinya, saya habiskan waktu dengan
minum-minum di kafe. Dan saya lihat, semua pengunjung kafe itu tak ada
yang memperbincangkan, dengan rasa kehilangan, atas kematian Ib u Tien.
Apakah mereka anggota PRD? Apakah mereka anggota Pijar? Apakah mereka
pengikut GJA? Jawablah Wisnu.
Dan soal jalanan macet itu. Justru amat wajar kalau pada hari Minggu itu
jalanan tak macet. Lha wong tanpa kematian Ibu Tien saja jalanan tak macet
kok. Tapi lihatlah peristiwa Sabtu kemarin, ketika seluruh stasiun
televisi (saya tak tahu apakah TVRI juga menyiarkan, karena channel di
pesawat televisi saya untuk stasiun ini selalu buram) serentak menyiarkan
peristiwa prosesi pemakaman Lady Di. Jalanan di Jakarta dan Surabaya
lengang. Bahkan sopir taksi pun enggan mengangkut penumpang. Mereka semua
lebih m emilih menonton peristiwa akbar yang menyangkut nama akbar. Tak
ada kemacetan, kecuali di malam hari, ketika banyak orang bermalam minggu,
ketika televisi sudah usai menayangkan kepergian "Mawar Inggris" itu.
Kemanakah anda, Wisnu? Asyik mengenang Ibu Tie n yang tak memperoleh
sambutan seperti itu? Kenapa publik Indonesia, yang tak punya hubungan apa
pun dengan sang putri, justru menaruh perhatian yang begitu besar atas
kematian Lady Di? Kenapa mereka tak melakukan hal yang sam! a ke tika
istri presidennya meninggal? Jawablah, wahai Wisnu? Apa yang salah, duhai
Wisnu saudaraku?
Mungkin karena itulah, hari Minggu ini, Soeharto dikhabarkan marah besar.
Seorang rekan yang bekerja di sebuah stasiun televisi swasta menyatakan,
"RI I marah karena televisi dianggap mem-blow up kematian Lady Di." Lho,
lho, lho. Bahkan seorang Bill Clint on, yang memimpin sebuah negara besar
saja, menyatakan turut kehilangan, lha kok ini ada orang tua uzur yang
sudah berkuasa selama 30 tahun, marah-marah hanya karena melihat rakyatnya
lebih mencintai Putri Diana ketimbang diri dan keluarganya. Childish, b
ukan? Hanya karena cemburu, ia menyalahkan media massa.
Saran saya, Wisnu, coba haturkan kepada yang mulia Soeharto: Kalau mau
dicintai rakyatnya, kembalikan kekayaan sejumlah US$ 16 billion yang sudah
ia kantongi selama ini kepada rakyat Indonesia yang masih sangat
membutuhkan. Suruh anak-anaknya tidak rakus dan menjunjung tinggi etika
dalam berbisnis. Hukum mereka yang telah menggerogoti sumber kekayaan alam
Indonesia demi kantong pribadi. Sesudah itu, beri ruang gerak yang cukup
bagi rakyat untuk menyuarakan kepentingannya. Singkatnya, demokrasi harus
dinom orsatukan. Peran ABRI cukup sebagai penjaga gawang ancaman dari
luar. Untuk keamanan dalam negeri, biarlah polisi yang menangani. Sesudah
itu, mundurlah dari pencalonan presiden. Apa tidak cukup berkuasa selama
lebih dari 30 tahun? Beri sedikit kebanggaan pada rakyat Indonesia untuk
memiliki presiden baru, yang muda dan gagah -- seperti Clinton dan Tony
Blair itu lho. Jangan yang tua, yang bisanya cuma cengengesan.
Soalnya, saya sering malu kalau ketemu orang asing, mereka kebanyakan
punya presiden yang muda, gagah, pokoknya kerenlah. Nggak kayak kita
punya. Sudah itu saja. Saya khawatir Wisnu nanti tambah marah-marah, terus
menuduh saya PKI. Bisanya dia kan begitu. Lha wong tukang pukulnya
Soeharto.
NO NAME

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...