Sunday, May 29, 2016

Fakta Kerusuhan Mei 1998

Fakta Kerusuhan Mei 1998

Posted: Agustus 24, 2012 in Uncategorized
0
1. Skala kerusuhan
Seperti yang telah kita ketahui bersama, pada tanggal 13-14 Mei 1998 yang lalu, tepat sehari setelah terjadinya penyerangan terhadap kampus Trisakti di Jakarta terjadi kerusuhan yang bernuansa rasial diberbagai kota di Indonesia. Menurut data yang kami punya, terdapat minimal 87 titik daerah kerusuhan yang terjadi di daerah Jakarta, Bogor, dan Tanggerang yang terjadi hampir secara serentak dan bersifat massif.
Kerusuhan inipun terjadi diberbagai wilayah lainnya diluar Jabotabek yaitu Medan (Kerusuhan terjadi sebelum 13 Mei 1998), Surabaya, Solo, Boyolali, Banyuwangi, Palembang dan Lampung. Kerusuhan ini telah menghancurkan infrastruktur ekonomi dan sosial yang ada di daerah tersebut.
Menurut Temuan TGPF, “kerusuhan ini adalah keseluruhan bentuk dan rangkaian tindak kekerasan yang meluas, kompleks, mendadak dan eskalatif dengan dimensi-dimensi kuatitatif dan kualitatif. Skala kerusuhan Mei 13-15 1998 mencakup aspek-aspek sosial, politik, keamanan, ekonomi bahkan kultural”. TGPF juga menyebutkan bahwa: Kerusuhan ini membawa dampak ikutan.
Dengan demikian, rentang kerusuhan dirujuk pada dinamika krisis nasional, hingga dampak-dampak pasca kerusuhan, dalam lingkup geografis yang berskala nasional”. Kerusuhan Mei 1998 ini seperti yang dilansir oleh TGPF adalah berskala nasional, namun fakta yang ada tidaklah sesempit itu.
Kerusuhan ini juga berimbas ke bagian lebih luas yaitu ke masyarakat Internasional. Hal ini dapat dilihat dengan begitu banyaknya perpindahan modal dari Indonesia ke luar negeri, ketidak percayaan investor luar negeri serta yang lebih parah lagi adalah kerusuhan ini menuai kecaman yang tidak sedikit dari berbagai elemen masyarakat dunia.
Bahkan tidak sedikit kedutaan Indonesia di Luar negeri yang mendapat “kunjungan” dari pemerintah asing untuk membicarakan masalah kerusuhan ini. Bahkan kedutaan besar Indonesia yang berada di luar negeri tersebut juga tidak terlepas dari berbagai demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat internasional yang tidak dapat memahami mengapa kejadian yang sangat biadab ini terjadi di Indonesia yang mengaku sebagai negara yang pluralis.
2. Pola umum kerusuhan
Menurut Laporan Tim Pengkajian Laporan Akhir TGPF Tentang Kasuus Kerusushan 13-15 Mei 1998 menyebutkan bahwa: “Pola Umum kerusuhan dimulai dengan berkumpulnya massa passif yang terdiri dari massa lokal dan massa pendatang, kemudian muncul kelompok provokator yang memancing massa dengan berbagai modus tindakan seperti membakar ban atau memancing perkelahian, meneriak yel-yel yang memanaskan situasi, dan merusak rambu-rambu lalu lintas. Setelah itu provokator mendorong massa untuk melakukan perusakan bangunan, disusul dengan penjarahan serrta di beberapa tempat disertai pembakaran bangunan”.
Kerusuhan ini bermula didaerah Jakarta barat didaerah sekitan kempus Trisakti. Esoknya pada tanggal 14 Mai 1998, kerusuhan ini makin meluas antara pukul 08.00 hingga 10.00. Dari pola kerusuhan ini terlihat dengan jelas bagaiamna aktor lapangan bermain dnegan sangat rapih dan baik. Hal ini membuktikan bagiaman sistematisnya kerusuhan tersebut dirancang. Dengan demikian, makin kuat dugaan bahwa kerusushan ini merupakan salah sati kejahatan kemusiaan yang bersifat sistematis dan meluas.
3. Target kerusuhan dan korban kerusuhan
Menurut hasil temuan Tim Gabungan Pencarian Fakta (TGPF), sasaran kerusuhan tersebut adalah pertokoan, fasilitas umum (pompa bensin, tanda-tanda lalulintas, dll), kantor pemerintahan (termasuk kantor polisi) yang menimbulkan kerusakan berat termasuk pembakaran gedung, rumah dan toko, serta kendaraan bermotor umum dan pribadi. Malangnya, yang menjadi target kerusuhan ini adalah kebanyakan etnis Tionghoa.
Dalam kerusuhan ini, banyak grafitti yang bernuansa rasial yang menggunakan simbol-simbol agama dan kelompok. Walaupun demikian, tidak ada nuansa konflik agama didalamnya karena memang simbol-simbol tersebut hanya untuk melindungi diri dari serangan perusuh. Teror dengan tulisan terhadap warga keturunan dapat dilihat dengan jelas karena terpampang di jalan-jalan, di pintu-pintu rumah penduduk serta di bangkai toko dan perkantoran yang hangus terbakar.
Nuansa rasial terlihat manakala dalam kerusuhan tersebut yang menjadi target utama adalah kelompok minoritas Tionghoa, walaupun terdapat juga beberapa toko dan perkantoran milik warga non Tionghoa yang dibakar dan dirusak. Pembakaran terjadi di sentra ekonomi terhadap pertokoan-pertokoan yang dikelola oleh orang-orang Tionghoa seperti di Glodok, Mangga dua dan rumah toko lainnya. Begitupun di luar daerah Jakarta, nuansa rasial tidak bisa dihilangkan begitu saja manakala untuk melindungi tokonya mereka menulis kata “Milik Pribumi dan/atau Muslim”.
Simbol-simbol ini dianggap sebagai penyelamat dalam kerusuhan ini. Simbol ini merupakan upaya melindungi diri yang dilakukan oleh masyarakat karena ketidakpercayaan
kepada aparat keamanan. Jumlah korban yang tercatat menurut hasil TGPF adalah 52 korban perkosaan, 14 orang korban penganiayaan, 10 orang penyerangan/penganiayan seksual dan 9 orang korban pelecehan seksual.
Sedangkan laporan dari Tim Relawan Kemanusiaan mencatat bahwa terdapat 1.190 orang meninggal akibat ter/dibakar, 27 orang meninggal akibat senjata/dan lainnya, dan 91 orang luka-luka.
Hingga kini, belum ada angka pasti yang menjadi korban dalam kerusuhan ini. Kerusuhan ini menimbulkan korban tewas yang kebanyakan akibat terbakar di dalam gedung-gedung pertokoan ataupun di pusat perbelanjaan. Menurut saksi mata, para korban berusaha untuk keluar dari gedung yang telah terbakar dengan menerobos api.
Namun, mereka gagal menyelamatkan diri karena api dalam gedung tersebut kian membesar dan tidak ada upaya dari regu penyelamat ataupun pemadam kebakaran untuk memadamkan api tersebut dan ditambah lagi terkuncinya tangga darurat dalam gedung-gedung tersebut.
Hal ini tetap menjadi pertanyaan mengapa pintu-pintu darurat yang seharusnya berfungsi sebagai pintu penyelamat malahan terkunci. Tidak sedikit dari mereka juga menyelamatkan diri dari kobaran api dengan jalan lompat dari gedung-gedung yang tinggi tersebut. Namun kebanyakan dari mereka tidak berhasil.
Permasalahan yang cukup kontroversial adalah mengenai korban perkosaan. Hingga kini tidak ada jumlah yang pasti mengenai korban perkosaan. Namun demikian, TGPF menyatakan adanya korban kekerasaan seksual dalam kerusuhan tersebut baik melalui testimoni korban langsung ataupun melalui pihak keluarga dan rohaniawan.
Apapun hasil dari TGPF mengenai peristiwa kekerasan seksual ini, bukan hanya dilihat dari berapa besar korban yang ada, namun penggunaan cara-cara kekerasan seksual itu sendiri yang berbahaya. Maka tugas dari pemerintah untuk kembali mengungkap kasus ini. Ini adalah hutang yang harus di bawar lunas.
4. Dugaan pelaku yang dimintakan Pertanggungjawabannya
Dalam tugasnya untuk mengungkapkan kerusuhan Mei 1998, TGPF telah meminta 10 orang pejabat yang terkait yang bertanggungjawab pada saat kerusuhan 13-15 Mei 1998, yaitu:
1. Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin (pangdam Jaya pada
saat kerusuhan)
2. Mayjen (Pol) Hamami Nata (Kapolda Metro Jaya pada
saat keruuhan)
3. Mayjen TNI Sutiyoso Gubernur (KDKI Jakarta)
4. Mayjen TNI Zacky Anwar (Kepala BIA)
5. Mayjen TNI (Mar) Soeharto (Dankormar)
6. Letjen TNI Parbowo Subianto (Pangkostrad pada saat
kerusuhan)
7. Fahmi Idris (Tokoh Masyarakat)
8. Brigjen TNI Sudi Silalahi (Kastaf Kodan Jaya)
9. Kolonel (Inf) Tri Tamtomo (Asops Kodan Jaya)
10. Jendral TNI Subagyo HS (KASAD/Mantan Ketua DKP)
Dari sekian banyak pelaku yang seharusnya dimintakan pertanggungjawabannya namun hingga kini mereka tetap dapat hidup dengan tenang tanpa harus menjalani proses hukum. Parahnya lagi mereka mendapat kedudukan yang lebih tinggi di pemerintahan.
Dari semua pihak tersebut diatas, terdapat kesan saling menutupi kegagalan mereka sebagai petinggi dan pengambil kebijakan dalam melindungi seluruh warga negaranya. Misalkan saja ucapan dari Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin selaku Pangdam Jaya menyatakan bahwa :”Pada tanggal 12 Mei 1998, ketika Operasi Mantap Jaya untuk mengamankan Pemilu digelar, pasukan yang diturunkan di Jakarta berjumlah 60 Satuan Setingkat komnado (SKK), atau sekitar 6.000 pasukan.
Kemudian pada tanggal 13 Mei, jumlahnya ditingkatkan menjadi 112 SSK. Sedangkan tanggal 14 Mei ditambah lagi menjadi 142 SSK, sehingga jumlah keseluruhan menjadi 14.200 pasukan. Namun dengan begitu banyaknya upaya yang telah dilakukan tetap saja kekurangan personnil dilapangan tetap muncul”.
Menurut hasil penyelidikan TGPF, terdapat 2 golongan yakni, pertama massa passif (massa pendatang) dan kedua provokator. Provokator pada umunya bukan dari wilayah setempat , secra fisik tampak terlatih, sebagian memekai seragam sekolah seadanya (tidak lengkap), tidak ikut menjarah, dan segera meninggalkan lokasi setelah gedung atau barang terbakar.
Para provokator ini juga membawa dan menyiapkan sejumlah barang untuk keperluan merusak dan membakar, seperti jenis logam pendongkel, bahan bakar cair, kendaraan, bom molotov dan sebagainya.
Dalam pemeriksaan terhadap beberapa orang yang diduga bertanggungjawab yang dilakukan oleh TGPF, Aris Sampurno dari kadit Intel menyatakan bahwa:
“Langkah-langkah Polri Polda Metro Jaya, mengidentifikasir 36 perusuh (kita menamakan dalang kerurusuhan yang sifatnya lokal)—sudah ditangkap ada 14 tersangka yang 2 tersangka masih dalam proses peradilan tetapi tetap disidik secara yuridis. Dari 16 tersangka, 14 orang berkasnya sudah diserahkan ke pununtut umum, dan yang sudah P21 (berkas perkara pemeriksaan sudah dianggap selesai) sebanyak 3 orang”.
Hingga kini, apa yang dilakukan oleh Polri tetap tidak ada kejelasannya, karena tidak informasi yang cukup terbuka serta fair mengenai siapa yang telah meraka anggap sebagai tersangka dan bagaimana hasil penyelidikan mereka. Kini upaya untuk mengungkap siapa dalang kerusuhan ini menjadi salah satu tugas yang dipikul oleh tim yang menyelidikan kerusuhan Mei yang dibentuk akhir tahun lalu.
Kepala BIA (Mayjen TNI Zacky Anwar Makarim) menilai kejadian itu sebagai musibah, walaupun sejak 20 April BIA sudah melakukan diteksi dini atau perkiraan lapangan dan melihat ada indikasi akan pecah kerusuhan. Namun, mereka tidak mengira kejadian itu akan meletus pada 13-15 Mei. Sebab, indikasinya menunjukkan kerusuhan akan terjadi pada 20 Mei, bertepatan dengan hari kebangkitan nasional,” Ujar Bambang W. Soeharto, Ketua komisi Pelacak TGPF (Media Indonesia, Kamis 3 September 1998).
Penjelasan Zacky Anwar Makarim sebagai “alasan pemaaf” yang mereka berikan kepada TGPF mengenai ketidak siapan pemerintah dalam menangani kerusuhan ini snangat tidak masuk akal. Apabila BIA telah tahu akan ada kejadian kerusushan pada waktu tertentu, sepantasnyalah mereka bersiap-siap dan segera mengatur startegi untuk mengamankan daerah tersebut.
Namun apa yang terjadi justru sebaliknya. Tidak ada kesiapan aparat keamanan dalam upapay menangani kerusushan dan menolong korban. Serta tidak ada koordinasi yang cukup baik anatar regu kemanan yang satu dnegan yang lain.
Apa yang dinyatakan oleh pihak keamanan mengenai upaya pengamanan sangat bertentangan dengan fakta yang terjadi di lapangan. Ketidakhadiran aparat kemanan selama 32 jam untuk mencegah kerusuhan membuat kerusuhan ini makin meluas.
Fakta yang terjadi pada kerusuhan membuat kita tidak habis pikir. Kita ambil contoh di daerah Tanggerang. Di Mega Mall, Tangerang sekitar 500 orang mati terbakar karena mereka tidak bisa keluar dari pertokoan tersebut. Mereka tidak dapat menyelamatkan diri karena ada pihak yang mengunci pintu keluar dan mengemboknya dari luar.
Dan dengan semua korban tersebut, pihak aparat hanya diam tanpa upaya untuk menyelamatkan para korban. Apapun alasan yang diberikan mengenai ketidakhadiran mereka, negara tetap saja melakukan pelanggaran HAM karena membiarkan pembunuhan dan perampasan terjadi didepan mata mereka.
Tidak berkerjanya pemadam kebakaran yang seharusnya menjadi tanggungjawab Gubernur juga dianggap bukan sebagai kegagalan dan malahan menyalahkan kondisi yang sedang chaos saat itu. Sutiyoso mengatakan bahwa: “sulitnya petugas pemadam kebaran bekerja karena khawatir diserang massa pesuruh, sehingga selalu minta dikawal aparat. Sementara aparat dimananpun terbatas dan tidak sebanding dengan luas dan pelaku kerusuhan”.
III. Pembentukan TGPF dan Kesetegahan Hati Komnas HAM dalam Kasus Mei 1998.
Akibat dari desakan yang sangat kuat dari berbagai pihak baik didalam mapun diluar negeri mengenai kerusuhan ini, maka dua bulan kemudian, tepatnya pada tanggal 23 Juli 1998, di bentuklah suatu tim yang bernama Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk menyikapi kerusuhan ini. Tim ini mempunyai masa tugas selama 3 (tiga) bulan yaitu sejak 23 Juli 1998 hingga 23 Oktober 1998.
Tim dibentuk berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Pertahanan Kemanan/Panglima ABRI, Menteri Kehakiman, Menteri Dalam negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Peranan Wanita dan Jaksa Agung. Tim ini bertugas untuk menemukan dan mengungkap fakta, pelaku dan latar belakang peristiwa 13-15 Mei 1998. Tim ini terdiri dari 8 orang unsur pemerintah, 4 orang anggota Komnas HAM, 4 orang dari perwakilan Lembaga swadaya Masyarakat serta dari organisasi massa yang berjumlah 2 orang.
Walaupun dengan masa tugas yang relatif sangat pendek, TGPF telah menghasilkan sejumlah rekomendasi diantaranya yaitu, pertama, pemerintah perlu melakukan penyelidikan lanjutan terhadap sebab-sebab pokok dan pelaku utama kerusahan 13-15 Mei 1998 termasuk melakukan penyelidikan terhadap pertemuan di Makostrad pada tanggl 14 Mei 1998, kedua, meminta pertanggungjawaban Pangkoops Jaya Mayjen Sjafrie Sjamsoedin, dan ketiga meminta pemerintah untuk
memberikan jaminan kemanan bagi saksi dan korban dengan membuat Undang-Undang yang dimaksud, dan keempat, memberikan rehabilitasi dan kompensasi bagi semua korban dan keluarga kerusuhan.
Namun hingga kini, dari semua rekomendasi yang telah disampaikan oleh TGPF, tidak satupun rekomendasi yang dijalankan oleh pemerintah. Ketidak pedulian pemerintah mengenai tindak lanjut dari rekomendasi TGPF serta tidak berjalannya penyelesaikan secara hukum dari mulai penyelidikan, penyidikan sampai pada tahap persidangan terhadap kasus kerusuhan 13-14 Mei 1998 merupakan suatu bentuk kegagalan dari negara dalam memberikan keadilan bagi seluruh warga negaranya.
Hasil penyelidikan TGPF telah diserahkan kepada Jaksa Agung pada tanggal 30 April 1999 yang seharusnya segera ditindaklanjuti oleh pihak Kejaksaan. Namun pada akhirnya, hasil temuan TGPF ini dianggap tidak pro-justisia. Akibatnya, hasil kerja dari TGPF ini mengandung kelemahan dalam kekuatan hukumnya.
Hal ini terjadi karena TGPF dianggap bukanlah suatu tim penyelidik namun hanya merupakan tim peneliti yang anggotanya juga tidak disumpah. Hal inilah yang membuat pihak militer yang dianggap sebagai pihak yang bertanggungjawab merasa diatas angin dan dapat dengan mudah untuk tidak memperdulikan hasil temuan TGPF.
Berkas yang sejak 4 (empat) tahun silam telah berada di tangan Kejaksaan Agung sama sekali tidak disentuh dan tidak ada kerja yang konkrit untuk penyelesaian kasus kerusuhan Mei 1998. Malahan yang terjadi adalah pelemparan tanggung jawab antara pihak pemerintah, Kejaksaan Agung dan Komnas HAM.
Melihat kenyataan yang ada, maka kita dapat menyimpulkan bahwa, pemerintahan di semua lini, khususnya Kejaksaan Agung selaku pihak yang seharusnya menuntut para pelaku, tidak mempunyai keinginan politik yang kuat untuk membuka kasus ini, apalagi untuk mengadili pihak yang seharusnya bertanggungjawab.
Padahal sudah seharusnya Kejaksaan Agung sebagai aparat penegak hukum membawa dan menyelesaikan permasalahan ini apalagi bila ingin disebut negara yang sedang menuju suatu perubahan dalam bidang hukum ke arah yang lebih baik dan demokratis. Desakan beberapa keluarga korban Kerusuhan Mei 1998 dan Ornop untuk membentuk KPP HAM Mei 1998 membuat Ketua Komnas HAM Djoko Soegianto membawa desakan ini ke rapat Pleno Komnas HAM untuk membentuk KPP HAM Mei 1998.
Djoko Soegianto sendiri menyatakan bahwa ia menyakini bahwa dalam kerusuhan tersebut dengan sangat jelas ada pelanggaran HAM berat dan jumlah korbannya pun besar. Hal ini juga disampaikan oleh Albert Hasibuan bahwa ia setuju dengan pembentukan KPP Kerusuhan Mei 1998.
Atas desakan tersebut pada pada tanggal 14 Mei 1998 Komnas HAM melakukan Rapat Pleno. Pada rapat tersebut sudah dibahas mengenai kerusuhan Mei 1998 dan kemungkinan pembentukan KPP untuk kasus ini. Rapat Pleno dilanjutkan pada tanggal 4 Juni 2002.
Hasil dari rapat ini adalah menyetujui pembentukan KPP Kerusuhan Mei 1998, namun pembentukannya diserahkan kepada pengurus Komnas HAM yang baru. Ssebelum amanat tersebut diatas dijalankan, Ketua Komnas HAM yang baru membuat beberapa kebijakan yang membingungkan banyak pihak. Karena, dibentuknya Fungsi Tim internal Komnas HAM untuk tindak lanjut penyelesaian kasus Kerusuhan Rasial Mei 1998. Dalam wawancara yang di lakukan oleh Abdul Hakim dalam Koran Tempo dan Suara Pembaruan pada tanggal 6 November 2002 menyebutkan bahwa tugas dari tim ini adalah sebagai berikut:
Fungsi:
1. Mengkaji kembali seluruh hasil laporan TGPF;
2. Menemukan bukti terjadi pelanggaran HAM Berat.
Penjelasan ini menimbulkan banyak pertanyaan yang mengesankan seolah-olah tim ini juga melakukan advokasi terhadap hasil temuan TGPF atau bahkan menentukan apakah terjadi pelanggaran HAM Berat pada kasus Mei 1998. Padahal kerja ini seharusnya telah menjadi kewenangan dari sebuah KPP HAM. ( UU No. 26 tahun 2000 pasal 18)
Selanjutnya terdapat keterangan yang amat berbeda dari anggota Konas HAM yang lain yang menyatakan bahwa, fungsi tim ini hanyalah untuk mempelajari berkas laporan TGPF sebagai bahan pembahasan kembali pada rapat pleno Komnas HAM yang akan datang.
Abdul Hakim memberikan penjelasan lebih jauh tentang kelanjutan dari tugas tim ini. Ia menyebutkan bahwa apabila tim ini menemukan ada dugaan terjadi pelanggaran HAM Berat dalam kasus Mei 1998 maka Komnas HAM akan meminta DPR mengeluarkan memorandum untuk meminta Presiden membentuk Pengadilan HAM ad hoc.
Pendapat ini tidak berdasarkan proses hukum yang ada karena, pertama dalam kasus pelanggaran HAM Berat hukum jelas menentukan bahwa upaya penyelidikan adalah kewenangan KPP HAM. Kedua, meminta pembentukan Pengadilan HAM sebelum dilakukan penyelidikan adalah tindakan pra duga bersalah.
Ketiga, aturan hukum telah sedemikian jelas bahwa tugas dari Komnas HAM adalah melakukan tindak penyelidikan dengan KPP HAM, tugas pihak Kejaksaan adalah melakukan penyidikan dan tugas DPR adalah membentuk Pengadilan HAM ad hoc.
Akhirnya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul, pada tanggal 5 November 2002, Komnas membentuk tim untuk mengkaji kembali hasil kerja TGPF. Setelah tim ini menemukan ada dugaan terjadi pelanggaran HAM berat maka Komnas HAM akan meminta DPR untuk mengeluarkan Memorandum.
Sallahudin Wahid selaku koordinator tim ini menyatakan bahwa tim ini belum pro-justitia, karena tim ini merupakan langkah awal untuk melakukan verifikasi kasus Kerusuhan Mei 1998.Dengan demikian, tim ini bukanlah suatu tim seperti layaknya Komite Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM seperti KPP HAM lainnya, namun baru hanya mempelajari berkas TGPF saja dan hingga kini belum dapat melakukan upaya yang lebih maju dibandingkan dengan upaya Komnas HAM sebelumnya.
Hasil investigasi yang cukup penting adalah penemuan fakta di lapangan oleh TGPF adalah dalam peristiwa kerusuhan tersebut terdapat indikasi bahwa kerusuhan tersebut terjadi secara sistematis dan terencana. Hal ini dapat dilihat dengan begitu sistematisnya para perusuh datang dan pergi serta provokasi dan pembakaran yang dilakukan oleh “mereka” yang dilakukan dengan proporsi kerja yang terencana dan terpimpin.
Dengan demikian kerusuhan ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM yang berat sesuai dengan UU Pengadilan Hak Asasi Manusia No. 26 Tahun 2000 karena telah memenuhi kreteria meluas, sistematis dan berencana. Muncul perdebatan mengenai kekuatan hasil temuan TPGF dan perlu atau tidaknya KPP HAM untuk kasus Mei 1998.
Melihat kerja dari KPP HAM Timor Timur dan Tanjung Priok, memang membuat banyak pihak berfikir ulang untuk melakukan advokasi melalui jalur KPP HAM. Banyak pihak yang mempertanyakan mengapa secara hukum hasil temuan tersebut tidak dapat ditindaklanjuti dan dalam kaitannya dengan UU Pengadilan HAM, apakah hasil TGPF dapat langsung ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung, apakah perlu dibentuk KPP HAM Kerusuhan Mei 1998.
Untuk menjawab hal tersebut maka kita harus kembali kepada persoalan hukum. Yaitu:
a. Bahwa sesuai dengan dasar hukum tersebut di atas,
maka pembentukan TGPF adalah hanya untuk menemukan dan mengungkap fakta, pelaku dan latar belakang peristiwa 13-15 Mei 1998 dan bukannya untuk melakukan penyelidikan pelanggaran HAM Berat.
b. Bahwa institusi yang membentuknya bukan merupakan institusi yang diberi dan atau mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan pelanggaran HAM Berat, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 UU Pengadilan HAM.
c. Bahwa oleh karena maksud dan tujuan pembentukannya maupun institusi pembentukannya tidak atau bukan untuk melakukan penyelidikan pelanggaran HAM, maka hasilnya, yaitu hasil TGPF juga tidak dapat menjadi hasil penyelidikan pelanggaran HAM Berat, akan tetapi hanya hanya dapat menjadi dasar, acuan, bahan untuk melakukan penyelidikan pelanggaran HAM Berat yang akan dilakukan oleh KPP HAM, yang dibentuk oleh KOMNAS HAM.
d. Bahwa jika kita melihat isi Laporan TGPF (Ringkasan Eksekutif) pada halaman 26 Bab VII Status Hukum no.1, jelas tampak bahwa hasil TGPF bukan merupakan penyelidikan pelanggaran Berat HAM ataupun penyelidikan dan penyidikan tindak pidana yang dapat ditindaklanjuti menjadi suatu proses hukum yang bermuara ke pengadilan oleh karena disebutkan : “Keseluruhan bahan-bahan dan dokumentasi serta Laporan TGPF diserahterimakan kepada pemerintah cq. Menkeh pada saat berakhirnya TGPF”. Sedangkan kita mengetahui Depkeh bukan merupakan institusi penegak hukum yang dapat dan berwenang menindaklanjuti suatu pelanggaran hukum, baik itu pelanggaran HAM Berat maupun suatu tindak pidana.
e. Bahwa dalam hasil TGPF tersebut tidak disebutkan secara eksplisit bahwa dalam kerusuhan 13-15 Mei tersebut merupakan pelanggaran HAM Berat, walaupun jika kita membaca substansi seluruh laporan TGPF tersebut TGPF mengakui aspek sistematis dan meluas dalam peristiwa tersebut.
f. Bahwa adanya argumentasi agar KOMNAS HAM cukup meminta Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti laporan TGPF menunjukkan ketidakpahaman yang bersangkutan akan hukum positif yang berlaku, oleh karena Kejaksaan adalah instansi penyidik dan penuntut untuk pelanggaran HAM Berat. Jadi bagaimana mungkin ia dapat melakukan penyidikan dan penuntutan jika belum ada hasil penyelidikannya.
g. Bahwa dalam pemberitaan media massa, Ketua KOMNAS HAM menyatakan bahwa KOMNAS HAM telah membentuk Tim Pengkajian Kerusuhan Mei, yang apabila dalam pengkajiannya tim menemukan fakta pelanggaran HAM Berat, maka KOMNAS HAM akan meminta DPR untuk mengeluarkan rekomendasi pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc. (Tempo dan Media Indonesia 7 November 2002 dan Suara Pembaruan 6 Nov. 2002).
Pernyataan Ketua KOMNAS HAM merupakan pernyataan yang menyesatkan, oleh karena yang berhak menyatakan suatu peristiwa hukum merupakan pelanggaran HAM Berat bukanlah Tim Pengkajian melainkan suatu Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Berat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18-20 UU Pengadilan HAM.
Pernyataan tersebut juga menunjukkan ketidakpercayaan KOMNAS akan dirinya sendiri. Memang ada preseden buruk yang terjadi dalam kasus Trisakti Semanggi I dan II (TSS) dimana sebelum dibentuk KPP TSS, ternyata DPR sudah mengeluarkan Rekomendasi berupa penolakan pembentukan Pengadilan HAM Berat, yang seharusnya rekomendasi DPR tersebut baru bisa dikeluarkan setelah adanya hasil Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Berat.
Akan tetapi KOMNAS HAM seharusnya juga dapat mengacu pada kasus pelanggaran HAM Berat Timtim dan Tanjung Priok, yang mana rekomendasi DPR baru diberikan setelah adanya hasil penyelidikan dari KPP Timtim dan KPP Tanjung Priok. Memang ketentuan pasal 43 UU Pengadilan HAM bias membuka dua interpretasi, yaitu penyelidikan dahulu baru rekomendasi DPR tentang pembentukan pengadilan HAM-nya atau rekomendasi DPR tentang pembentukan Pengadilan HAM-nya dulu baru kemudian dilakukan penyelidikannya.
Akan interpretasi kedua tersebut tidak beralasan oleh karena bagaimana mungkin ada suatu rekomendasi pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc jika belum ada hasil penyelidikan yang menentukan suatu pelanggaran HAM Berat atau bukan karena jika itu terjadi berarti yang berlaku adalah asas Praduga Bersalah sebab sudah ditentukan dulu pengadilannya baru kemudian ditentukan pelaku dan perbuatannya, yang mana seharusnya dianut adalah praduga tidak bersalah, yaitu adanya perbuatan dan dugaan pelakunya baru kemudian pengadilan.
Selain itu juga perlu disimak ucapan Ketua Komisi II DPR (yang membawahi bidang hukum dan HAM), sedr. Teras Narang yang menyatakan :“Hanya saja sebelum meminta kepada DPR, KOMNAS HAM harus melakukan penyelidikan yang komprehensif atas tragedy tersebut” (dalam Suara Pembaruan 6 November 2002).
Menurut hasil Laporan Tim Pengkajian Laporan Akhir TGPF tentang Kerusuhan 13- 15 Mei 1998 menyebutkan bahwa terdapat indikasi telah terpenuhinya beberapa unsur kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Kerusuhan Mei 1998, yaitu:
1. Adanya serangan yang meluas atau sistematis.
Dalam kasus Kerusuhan 13-15 Mai 1998 dapat dilihat adanya beberapa persamaan, kemiripan, maupun variasi pola kerusuhan dari ebberapa kota serta waktu yang bersamaan atau hampir bersamaan terjadinya kerusuhan Mei 1998.
Patut diduga adanya rencana, misalnya telah disiapkannya bom molotov, terdapatnya pelaku yang memebawa rensel berisi batu atau abhan bakar, dan adanya nyala api yang berwarna biru diduga memggunakan zat kimia. Alat-alat yang dipergunakan dalam kerusushan patut diduga telah disiapkan sejak awal guna pengerusakan.
2. Ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil. Serangan yang ditujukan kepada penduduk sipil dapat di bagi dalam 2 kategori:
o Serangan terhadap jiwa
o Serangan terhadap harta benda.
Hal ini dapat ilihat dari emerka yang ikut masuk ke gedung, toko, atau tempat lain dimana sedang terjadi penjarahan oleh massa (sipil), kemudian tempat itu dibakar oleh orang yang tidak dikenal, sehingga banyak penduduk sipil yang menjadi korban karena tidak dapat keluar. Korban perkosaan atau kekerasan seksual sebagian besar terdiri dari perempuan etnis Tionghoa.
Sasaran pengerusakan, pembakaran, dan penjarahan seperti toko, rumah, dan kendaraan selmaa kerusushan adalah milik penduduk sipil.
3. Serangan itu sebagai kelanjutan kebijakan penguasa atau kebijakan yang berhubungan dengan organisasi.
Hal oini dapat dilihat dari kegiatan yang mengindikasikan adanya kelompok yang memeprtahankan rezim Orde Baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto, seperti tidak dilakukannya pencegahan atau penanggulangan kerusuhan yang terjadi. Ketika terjadi kerusuhan, aparat keamanan membiarkan massa melkaukan pengerusakan, pembakaran, atau penjarahan seperti yang dilakukan oleh pasukan Marinir di Martraman. Di Solo, aparat keamanan melarang dilakukannya tindak pencengahan atau penanggulangan oleh polisi terhadap massa yang akan merusak bangunan seperti yang dilakukan oleh Danrem Solo.
4. Perbuatan yang berupa:
• Pembunuhan.
Hal ini dapat dilihat dari perbuatan berikut: setelah massa masuk ke gedung/bangunan, kemudian bangunan tersebut dibakar oleh orang tak dikenal. Hal ini dapat dilihat dari Laporan Akhir Seri 6 Verifikasi. Korban jiwa sekitar 451 orang.
• Perkosaan.
Terdapat beberapa telah terjadi perkosaan terhadap perempuan terutama perempuan Tionghoa. Jumlah korban perkosaan diperkirakan 52 orang.
• Penganiayaan.
Berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan dalam TGPF, maka dalam kerusushan 13-15 Mei 1998 telah terjadi tindak pengerusakan dan atau pembakaran terhadap bangunan serta adanya penjarahan. Perusakan, pembakaran dan penjarahan merupakan tindakan yang paling diminan dalam kerusushan 13-15 Mei 1998.
• Penghilangan paksa.
Telah terjadi penghilangan secara paksa sebanyak 4 orang yang dilaporkan oleh YLBHI/Kontras yaitu:
1. Yadin Muhidin (23 tahun).
2. Abdul Bnasir (33 tahun).
3. Hendra Hambali (19 tahun).
4. Ucok Siahaan (22 tahun).
Berdasarkan seluruh uraian tersebut di atas, jelas bahwa untuk penuntasan kasus Kerusuhan Mei 1998 harus dibentuk KPP Kerusuhan Mei 1998 yang akan melakukan penyelidikan pelanggaran HAM Berat dalam kerusuhan Mei 1998 untuk kemudian ditindaklanjuti dengan proses penyidikan dan pemberian rekomendasi DPR tentang pembentukan Pengadilan HAM Berat Ad hoc kasus Kerusuhan Mei 1998 hingga keluarnya KEPPRES pembentukan Pengadilan HAM Berat Ad hoc kasus Kerusuhan Mei
Jadi sebenarnya, melihat kerja Komnas HAM yang telah lama tersebut dapat diambil kesimpulkan belum ada kemajuan apapun dalam usaha penyelesaian kasus ini. Karena tetap saja, apapun tim yang dibentuk, tim ini belum pro-justisia yang nantinya akan bernasib sama dengan hasil TGPF. Hal yang perlu dilakukan segera adalah mendesak tim ini menjadi tim yang pro-justisia yang hasilnya akan dapat dijadikan dasar dalam penyidikan dalam Peradilan HAM Ad Hoc.
IV. Kebijakan Impunitas Adalah Awal Dari Kegagalan Pemerintahan Sipil Dalam Memberikan Keadilan Bag Korban Pelanggaran HAM.
Praktek impunitas kerap dilakukan apabila ada dugaan kuat pelakunya adalah orang yang berasal dari militer, birokrat ataupun ada kepentingan penguasa untuk mempetieskan peristiwa pelanggaran HAM tersebut. Kerusuhan Mei 1998 merupakan salah satu peristiwa dimana ada dugaan kuat bahwa pihak militer harus dimintakan pertanggungjawabnya.
Kebijakan serta pernyataan kaum elit politik yang dilakukan oleh pemerintah bertolak belakang dengan agenda reformasi yang seharusnya dijalankan. Dengan tidak adanya tindak lanjut pada kerusuhan Mei 1998 yang seharusnya membawa para pelanggar HAM diadili dimuka hukum maka apa yang dialukan oleh pemerintah serta para pelaku elit politik saat ini merupakan langkah mundur dalam menjalankan janji reformasi yang salah satu butirnya adalah penegakkan supremasi hukum.
Tindakan pemerintah dan para elit politik dalam melakukan upaya impunitas bagi para pelaku kejahatan kemanusiaan merupakan bagian dari upaya negara yang sangat sistematik melakukan pelanggaran HAM Peran Jaksa Agung dalam penghapusan impunitas juga masih di awang-awang dan malahan menjadi lembaga pelanggeng impunitas bila melihat kinerja Kejaksaan Agung hingga kini.
Jaksa Agung salah satu pihak yang seharusnya berperan aktif dalam penegakkan keadilan justru berperan sebaliknya. Kerja Kejaksaan Agung dinilai sangat lambat karena dari sekian banyak berkas kasus pelanggaran HAM yang ada tidak pernah selesai dan keputusan yang dihasilkan oleh pengadilan mununjukkan keadilan masyarakat.
Saling lempar tanggungjawab dan keengganan dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM telah menjadi trend dalam perjalan hukum kita. Peristiwa pengembalian berkas penyelidikan dari Kejaksaan Agung kepada Komnas HAM dalam kasus TSS, dan juga penolakan salah satu rekomendasi KPP TSS mengenai penindaklanjutan hasil investigasi TGPF yang seharusnya dilakukan oleh Jaksa Agung merupakan salah contoh dari sekian contoh lain yang telah mereka lakukan dalam upaya impunitas.
Langkah yang diambil oleh pemerintah Megawati dalam menyikapi kerusuhan Mei 1998 ini jelas bukan merupakan sebuah langkah yang cukup maju, malahan merupakan sebuah langkah mundur yang jauh ke belakang. Pada pemerintahan Megawati yang selalu dianggap sebagai pemerintahan wong cilik telah mengambil kebijakan yang sangat bertentangan dengan keadilan korban.
Presiden Megawati tidak menunjukkan keinginan baik dan keinginan politik yang kuat untuk menyelesaikan permasalahan ini. Pemerintahan kali tidak berbeda dengan pemerintah rezim Orde Baru yang selalu melindungi para pelaku kejahatan kemanusiaan.
Ada beberapa kebijakan Megawati yang dapat dilihat sebagai kontra reformasi baik kebijakan tersebut dialkuan secara langsung atau tidak langsung, yaitu:
1. Pengangkatan Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin (Pangdan Jaya).
Pengangkatan Sjafrie Sjamsoeddin menjadi Kepala Pusat Penerangan Tentara Nasional Indonesia (Kapuspen TNI) yang menggantikan Marsekal Muda Graito Usodo menggundang petentangan yang sangat tajam. Banyak pihak terutama aktivis dan masyarakat korban menentang kebijakan Megawati yang menaikan pangkat Sjafrie Sjamsoeddin. Penentangan ini dilakukan karena Sjafrie selaku mantan Panglima Daerah Militer (Pangdam) Jaya adalah salah satu orang yang diguga kuat terlibat dalam Kerusuhan Mei 1998.
Sjafrie adalah orang yang seharusnya dimintakan pertanggungjawabannya akibat kerusuhan tersebut dan bukannya diberi posisi yang penting dan strategis. Kenaikan Sjafrie merupakan indikasi menguatnya militer dalam pemerintahan Megawati.
Militer pun makin unjuk gigi dengan kekuatan dan dukungan pemerintah terhadap para perwira tinggi militer. Hal ini juga mengindikasikan makin kuatnya kedudukan TNI dalam kancah perpolitikan di negara ini.
2. Pengangkatan Mayjen TNI Sutiyoso (Gubernur DKI Jakarta).
Selain Safrie, dukungan mayoritas anggota DPR serta dukungan penuh dari Megawati untuk kenaikan kedua kalinya Mayjen. TNI Sutiyoso menjadi Gubernur Jakarta mengindikasikan tetap kuatnya pelaku-pelaku yang bermain dalam ORBA untuk duduk dalam pemerintahan.
Sutiyoso menjabat sebagai seorang Gubernur DKI pada waktu Kerusuhan Mei 1998 terjadi. Tugas dari seorang Gubernur salah satunya adalah bertanggung jawab dengan keamanan kota yang dipimpinnya. Namun pada waktu kerusuhan terjadi, Sutiyoso tidak mengambil langkah serta upaya kemanan yang seharusnya ia lakukan selayaknya pejabat yang memegang kekuasaan untuk menjalankan upaya-upaya pengamanan Ia juga tidak melakukan koordinasi kemanan Jakarta dengan pihak kemanan dalam hal ini pihak Kepolisian.
Pengangkatan kembali Sutiyoso menandakan bahwa pemerintah baik dari DPR dan Megawati makin lengket dengan militer dan para pelanggar HAM dan menerapkan praktek impunitas dalam semua pelanggaran HAM yang terjadi.
3. Violence by Ommission: Akibat dari ketidakpedulian Megawati terhadap Kasus Kerusuhan Mei 1998.
Ketika maraknya berbagai mass media menyuarakan mengenai pentingnya pengungkapan kasus dan membawa kasus kerusuhan Mei 1998 kepada suatu pengungkapan dan keadilan bagi korban, Presiden Megawati justru diam.
Memang kediaman ini bukan hanya terjadi pada kasus kerusuhan Mei 1998, namun juga dalam banyak kasus pelanggaran HAM. Hal ini menandakan begitu lemahnya upaya pemerintahan Megawati untuk membawa negara ini ke arah demokratisasi dan keadilan bagi korban. Sehingga menumpukan harapan bagi penyelesaian kasus kerusuhan ini kepada pemerintahan Megawati sangatlah tidak mungkin. Upaya pemerintah yang menutupi kasus Kerusuhan Mei 1998 merupakan anti tesis dari keadilan.
Negara ini juga telah melakukan pelanggaran (state violence) karena negara gagal melindungi warga negaranya dan terjadi pembiaran terhadap pembunuhan, pemerkosaan dan penjarahan yang dilakukan terhadap warga negaranya dan di negaranya sendiri.
Kebijakan pemerintahan Megawati menandakan bagaimana konsensi yang dibangun oleh pemerintahan Megawati dengan TNI dan lebih buruk lagi adalah konsensi pemerintah dengan para pelanggar HAM Berat. Langkah yang diambil pemerintah merupakan langkah kontra reformasi dan penghambat bagi penghapusan impunitas bagi pelanggaran HAM.
Hal ini dikarenakan seorang pejabat yang diduga kuat terlibat dalam pelanggaran HAM masih di beri kursi untuk berkuasa dan malahan diberi jabatan penting dalam TNI dan pemerintahan dan bukannya dibawa ke pengadilan untuk diadili.
Pemerintahan Megawati seolah-olah telah melupakan tragedi kemanusiaan pada kerusuhan Mei 1998 yang merupakan bentuk dari teror yang sangat kuat terhadap seluruh masyarakat di Indonesia, khususnya kelompok minoritas.
Hal ini juga menunjukkan secara terang akan ketidakseriusan pemerintah dalam menuntasan kasus pelanggaran HAM. Padahal upaya mengingat bagi tragedi kemusiaan merupakan langkah yang pertama yang seharusnya dilakukan untuk menghapuskan impunitas.
Kita dapat melihat kemunduran dan bahkan tindakan “amnesia” yang dilakukan oleh Megawati jika dibanmdingkan dengan pemerintahan sebelumnya. Sebut saja pemerintahan Gus Dur. Pada tahun 2000, Khofifah selaku Menteri Peranan Wanita meminta Kejaksaan Agung serta POLRI untuk kembali mengusut tuntas Kerusuhan TGPF. Dia menyatakan untuk segera menindak lanjuti hasil temuan dri TGPF.
Namun seiring dengan pergantian pemerintahan Megawati, dorongan dari pemerintah ini kembali terhenti. Hingga kini belum ada satupun Menteri dan bahkan Presiden yang kembali mndorong upaya penyelesaian kasus ini.
Kini sangat terlihat dengan jelas perbedaan yang sangat mencolok antara pemerintahan yang di pimpin oleh Presiden Megawati dengan Mantan Presiden Gusdur. Melihat kinerja pemerintah dalam keacuhannya terhadap kerusuhan Mei 1998 maka muncul desakan yang sangat kuat dari keluarga korban dan beberapa Organisasi Non Pemerintah (Ornop) agar pemerintah segera meninjaklanjuti hasil TGPF, tidak hanya dari persfektif hukum belaka yang saat ini tidak ada yang memihak kepada korban namun juga dilihat dari persfektif korban sesuai dengan Paris Principle.
V. Upaya Kampanye dan Upaya Hukum Dalam Penyelesaian Kerusuhan Mei 1998
Seperti yang telah disampaikan diatas, upaya hukum nasional dalam penyelesaian kasus Kerusuhan Mei 1998 tersendat-sendat. Salah satu upaya hukum yang telah dijalani oleh beberapa Ornop salah satunya adalah Solidaritas Nusa Bangsa (SNB) adalah melakukan gugatan legal standing kepada pemerintah atas kerusuhan Me 1998. Gugatan ini telah disamapiakan sejak tahun 1999 dengan nomor register 3048.K/Pdt/2001 dan telah masuk kedalam tahap kasasi (dalam Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi gugatan ini dikalahkan).
Kini berkasnya masih terrsimpan rapih di tingkatan kasasi di Mahkamah Agung RI. SNB telah meminta penyelesaian terhadap kasus ini secara prioritas kepada Mahkamah Agung namun ditolak. Melihat hal ini, Mahkamah Agung juga tampak lambat mengambil keputusan mengenai penyelesaian kasus Kerusuhan Mei 1998.
Melihat kerja hukum nasional yang morat-marit maka upaya internasional akan diambil sebagai langkah akhir, yaitu jika semua mekanisme pengadilan dalam negeri tidak mampu memberikan keadilan bagi korban. Banyak pihak yang menyampaikan pro dan kontra terhadap upaya internasional ini. Marzuki Darusman menyatakan bahwa belum ada urgensi membawa kasus kerusuhan Mei 1998 ini ke pengadilan internasional kecuali proses hukum di dalam negeri mengalami kemacetan.
Namun banyak pihak yang tetap sepakat bahwa mekanisme pengadilan internasional pantas dilakukan karena para pelaku yang terlibat merupakan pelaku bagi kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity) dan juga memenuhi unsur pelanggaran HAM berat karena ada rekayasa. Apapun upaya yang dijalankan dengan segala kelebihan dan kekurangannya, solidaritas dan kesatuan langkah menjadi salah satu prasyarat bagi penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM, termasuk kasus Kerusuhan Mei 1998
Berbagai pertemuan Internasional telah menyinggung masalah kerusuhan Mei 1998. Perkembangan isu ini dapat kita lihat dari Konferensi Internasional Menentang Rasisme, Diskriminasi Rasial, Xenophobia dan Intoleransi (World Conference Against Racism-WCAR) yang telah dilakukan secara berangkai pada tahun 2001 di Tehran dan Afrika Selatan.
Dalam Konferensi ini, pemerintah Indoensia memberikan laporannya tentang kasus rasial tersebut. Pada bulan Februari 2001, Hasan Wirayudha yang pada waktu itu masih menjadi Sekjen Departemen Luar Negeri (sebelum beliau diangkat menjadi Mentri Luar Negeri) memberikan laporan upaya penghapusan rasisme. Pada saat itu ia menyatakan bahwa kerusuhan Mei 1998 menyediakan pelajaran yang berharga bagi bangsa ini dalam permasalahan harmonisasi dan toleransi diantara berbagai macam kelompok ras, kelompok etnis, dan kelompok agama.
Hal senada tanpa ada tambahan yang berati juga diungkapkan oleh Menteri Yusril Ihza Mahendra pada tanggal 2 Sepetember 2001 dihadapan negara-negara peserta WCAR. Kedua pejabat tersebut hanya memberikan jalan keluar berupa perubahan kebijakan dalam bidang perundang-undangan yang diskriminatif, Namun, yang hingga kini, janji tersebut juga tidak kunjung dipenuhi.
Dalam laporan negara peserta WCAR tersebut, pemerintah Indonesia tidak menyinggung mengenai penuntasan keadilan bagi korban dan keluarganya serta kegagalan pertanggungjawaban negara dalam kerusuhan ini.
Melihat cara pelaporan dari kedua pejabat negara ini terhadap persoalan Mei 1998, maka kita dapat menyimpulkan bahwa persoalan Mei 1998 hanya merupakan pelajaran yang berharga bagi bangsa ini, namun yang menjadi pertanyaan adalah, apa yang harus kita lakukan untuk menyelesaikan secara tuntas dan mekanisme yang efektif untuk mencegah agar sejarah ini tidak berulang.
Jikalau melihat apa yang sudah dilakukan oleh negara ini, maka jawabannya sudah sangat jelas. Bahwa tidak ada penyelesaian yang konkrit! Apa yang telah dilakukan oleh pejabat publik Indonesia dalam agenda Internasional selalu melakukan kebohongan kepada publik. Upaya-upaya yang mereka telah sebutkan untuk menyelesaikan kasus hanyalah ada diatas kertas, namun bukan dalam kebijakan yang jelas.
Dibutuhkan penggalam kampanye internasional yang sangat kuat untuk mengakhiri impunitas dalam peristiwa kerusuhan Mei 1998. Upaya internasional ini dilakukan baik melalui lembaga internasional seperti PBB ataupun lembaga – lembaga perjuangan HAM lainnya.
Uapaya kampanye ini diharapkan akan memunculkan desakan yang snagat kuat kepada pemerintah Indonesia untuk serius dalam menyelesaikan kasus Mei 1998. Hal ini juga berguna untuk menjadi counter issues bagi kebohongan publik yang dilakukan oleh pemerintah di luar negeri.
VII. Rekomendasi
1. Membangun kekuatan korban sebagai salah satu upaya perjuagan dalam penghapusan impunitas.
Hambatan-hambatan yang terjadi selama ini membuat kita harus merefleksi diri mengenai kegagalan perjuangan penegakan HAM. Hal yang harus kita lihat pertama kali adalah dari dalam diri kita sendiri. Apakah kita sudah cukup baik untuk mengorganisir diri? Pemberdayaan kepada korban adalah salah satu solusinya.
Pengorganisiran pada masyarakat korban salah satu tujuannya adalah terbangunnya solidaritas bersama untuk dapat saling menguatkan dan mengingatkan. Dan tujuannya selanjutnya adalah memperoleh kembali hak-hak mereka sebagai warga negara, hak keadilan dan hukum harus diambil kembali dari tangan negara yang tiran.
Dengan kelompok korban yang paham mengenai hak-hak mereka serta tahu betul apa yang sedang mereka hadapi memebuat kerja-kerja kemanusiaan akan lebih mudah. Dalam kasus Kerusuhan Mei 1998 dimana masayarakat Tionghoa menjadi salah satu kelompok yang menajdi korban juga harus bersatu dan berjuang bersama dengan kelompok lain sesama korban..
Harapan besar ada ditangan keluarga korban untuk dapat mengorganisir diri. Lewat pemantauan yang kuat terhadap jalannya kasus ini yang kini telah di upayakan oleh Komnas HAM, maka pemantauan akan menjadi jalan yang sangat efektif untuk selalu mengingatkan para pejabat negara, bahwa mereka berhutang terhadap keadilan korban.
Terbentuknya Panitia Kerusuhan Mei 1998 merupakan salah satu agenda yang cukup penting untuk didorong. Koalisi yang terdiri dari berbagai elemn masyarakat membuat isu kerusuhan Mei 1998 bukan hanya sekedar Tionghoa ataupun korban dari korban yang terbakar, namun menjadi lingkaran yang akan merangkum banyak pihak.
2. Pembentukan KPP HAM Kerusuhan Mei 1998.
Salah satu solusi dalam penyelesaian kasus Kerusuhan Mei 1998 adalah dengan segera dibentuknya KPP HAM Kerusuhan Mei 1998. KPP HAM ini akan mengawali dilanjutkannya penyidikan oleh pihak Kejaksaan Agung sebagai Penuntut Umum yang kemudian dalam tahapan selanjutnya dapat segera diproses dalam Pengadilan HAM Ad hoc Kerusuhan Mei 1998.
Melalui KPP HAM ini maka target awalnnya adalah adanya pengungkapan fakta dalam kerusuhan tersebut yang pada akhirnya membawa para pelaku ke pengadilan. Melalui pengadilan yang fair maka impunitas yang selama ini dilakukan akan dapat dikurangi. Memang solusi ini bukanlah solusi tunggal.
Artinya, diperlukan pembenahan dibidang-bidang lain untuk menunjang peradilan yang fair dan sesuai dengan keadilan para korban. Tanpa pembenahan di bidang lain, seperti pemberdayaan korban, perubahan UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM, ataupun kampanye yang serius untuk mendorong menghapusan impunitas maka seluruh proses keadilan tidak akan tercapai.
3. Meningkatkan sense of human rights dalam diri aparat penagak hukum khususnya Kejaksaan Agung dan Kehakiman dan upaya penghapusan praktek-praktek Impunitas.
Seringkali Kejaksaan Agung sebagai salah satu institusi yang mengupayakan penegakan HAM justru tidak mempunyai sense of human rights.
Hal ini juga terjadi pada hakim-hakim yang bertugas dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Mereka tidak bisa berdiri secara idenpenden karena seragam negara yang dipakaianya memberatkan fungsi sebagai salah satu bagian dari perjuangan keadilan bagi pelanggaran HAM.
Seperti kasus Pengadilan HAM Timor Timur. Yang cukup menonjol dalam roses peradilan tersebut adalah mengenai pemikiran dan pandangan terhadap nasionalisme semu dan sempit yang dimiliki oleh para jaksa dan hakim. Seolah-olah, segala kasus yang berujung pada gugatan warga negara terhadap engara adalah kontra dari sikap nasionalisme. Padahal, nasionalisme tanpa pemenuhan hak-hak warga negara adalah omomg kosong.
Pemahaman HAM inilah yang juga seharusnya digalakkan ditubuh institusi negara khususnya di pihak kejaksaan dan kehakiman.
Segala keputusan dan tindakan yang melibatkan pejabatan hukum harus tetap di kritisi agar tetap berada di jalur yang benar. Apa yang terjadi dengan kepurtusan-keputusan hakim dalam kasus – kasus pelanggaran HAM memunculkan kecaman karena mereka melanggar ide tentang keadilan bagi korban. Para aparat negara yang telah melakukan praktek impunitas sudah sepantasnya mengundurkan diri ataupun di copot dari jabatannya.
4. Mencabut hak DPR dalam penentuan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc dalam kasus Pelanggaran HAM Berat.
Dalam pasal 43 ayat 2 UU No 26/2000 disebutkan bahwa: “Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan perwakilan Rakyat
Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden”.
Fungsi DPR dalam yang juga menjadi penentu dalam mekanisme pembentukan Pengadilan HAM ad hoc inilah yang menjadi permasalahn yang sangat crucial. Kita tidak dapat memehami, bahwa sebuah lembaga yang sangat politis dapat bersikap netral dan mempunyai pandangan yang baik terhadap epengakan HAM.
Kita tahu bagaimana track record dari kerja-kerja DPR yang sangat buruk yang malah melanggengkan impunity. Seperti kasus KPP HAM Trisakti dan Semanggi I dan II yang mengalami hambatan karena pihak DPR telah memutuskan tampa ada penyidikan lebih lanjut oleh Kejaksaan agung bahwa kasus tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat.
Fungsi DPR yang sangat sarat dengan kepentingan politik membuat banyak kasus pelanggaran HAM hilang nuansa kemanusiaannya tapi hanya menjadi komoditas kepentingan politik. Dengan demikian maka dibutuhkan revisi terhadap fungsi DPR dalam UU No. 26/2000 mengenai Pengadilan HAM.
5. Mempertegas kedudukan Komnas HAM dalam upaya penegakan HAM di Indonesia.
Selain itu, peran Komnas HAM sebagai lembaga kemanusiaan yang seharusnya berpihak pada korban harus mempunyai posisi yang jelas. Kedekatan Komnas HAM dengan kepentingan negara dan militer membuat Komnas HAM tidak dapat bekerja dengan sesuai dengan keadilan korban. Sebagai salah satu upaya dalam penyelesaian kasus ini adalah keseriusan Komnas HAM untuk membentuk suatu Tim yang bekerja secara pro-justisia.
Selama tim ini belum dibentuk maka tidak ada perkembangan yang berarti dalam Komnas HAM untuk menyelesaikan kasus ini. Untuk mendukung upaya pembentukan tim yang pro-justisia maka diperlukan pemantauan terhadap kerja-kerja Komnas HAM. Pemantauan ini dilakukan agar Komnas HAM tetap pada jalur yang benar. Sehingga apapun yang dilakukan oleh Komnas HAM akan berimbas bagi keadilan korban.
6. Pembuatan Undang-Undang Pengapusan Diskriminasi Rasial.
Negara Indonesia harus menunjukkan keinginan politik yang kuat dalam menuntaskan segala macam pelanggaran HAM di negeri ini.
Dalam permasalahan kerusuhan rasial, pemerintah harus segera membuat peraturan yang mendukung keinginan politik tersebut. Paling tidak peraturan ini akan beri implikasi bagi pelaku pelanggaran rasial yang dilakukannya. Hingga kini belum adanya sebuah peraturan yang mengatur mengenai upaya-upaya penghapusan diskriminasi yang berdasarkan ras dan atau etnis menjadi hambatan tersendiri dalam
upaya penuntasan kasus-kasus rasial.
7. Meratifikasi secara penuh Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial oleh pemerintah Indonesia.
Ratifikasi terhadap konvensi Pengahapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial yang setengah-setengah juga menjadi salah satu potret terhadap kurangnya niat politik negara dalam menghapusakan diskriminasi rasial. Hingga kini, pemerintah Indonesia tidak meratifikasi secara penuh konvensi ini.
Pemerintah tidak meratifikasi pasal mengenai kewenangan Mahkamah Internasional apabila pemerintah Indoensia tidak menajalankan kebijakan penghapusan diskriminasi rasial. Untuk itu, diperlukan dorongan yang snagat kuat untuk segera mendesak pemerintah Indoensia dalam meratifikasi secara penuh konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...